Langsung ke konten utama

aLamaKna: Merdeka

Sore menjelang di suatu pasar, di setitik tempat pinggir kali yang menyisir tepi kota. Azan berkumandang memanggil. Hujan sedari tadi siang, mereda di tepi hari menyisakan dingin. Kota selalu sibuk, kalau tak sibuk tidaklah hidup bergeliat. Kota adalah penghidupan yang punya kehidupan tersendiri. Mulai menjelang gelap, lampu jalanan mengerjap nyala di pinggir jalan, tampak menggariskan cahaya jika dilihat dari atas, tampak menggoreskan cahaya di keremangan yang mulai menjamah. Lampu-lampu di dalam rumah pun mulai dinyalakan terlihat terang dari jendela yang terbuka, terlihat redup dari jendela yang tertutup tirainya. Azan belum selesai berkumandang memanggil, orang bercakap-cakap bla-bla-bla, terdengar ucapan ‘alhamdulillah’, berbuka puasa mengakhiri lapar dan dahaga. Semua bersepakat serentak menyalakan cahaya, seperti memberi api ke ujung sumbu lilin dan berbinarlah. Televisi masih bersuara, volumnya dikecilkan. Jalanan masih bising lalu lalang, teriakan para kernet angkutan umum terdengar seperti dengung berulang-ulang, tersamarkan. Motor, mobil dan sepeda melintas membelah jalanan, orang-orang melangkah kaki di trotoar terpinggirkan, kadang merangsek ke jalanan menyeberang. Sebagian dari mereka ada keluarga yang menunggu di rumah; istri atau anak atau suami atau orang tua. Klakson-klakson berbunyi, derap-derap langkah tak tertahan sore dan azan. Pelabuhan berisik karena mesin-mesin, muatan dalam besi berkarat dibongkar-muat, bisik-bisik orang masih tak terdengar, orang yang berdiam mencoba mendengar bisikan hati. Saling silang, tumpang tindih, berlapis-lapis kejadian di kota dalam tiap sudutnya, tunggu saja sampai waktu menyisakan hening di tengah malam. Azan belum selesai berkumandang memanggil , segelas air teh manis hangat bisa melepas dahaga menyegarkan kerongkongan menyegerakan berbuka puasa. Bau masakan terhidu enak, ada juga bau knalpot pekat tercampur dalam debu dan deru. Azan hampir selesai berkumandang memanggil, tertinggal gemanya.

Cobalah menikmati sore yang berbeda, angin yang turut berbisik-bisik meski tak membawa kabar kekasih, kubangan air yang menciprat ke trotoar karena terkena lindasan roda kendaraan pada saat senja langit saujana, senja sama yang menawarkan lanskap yang tak pernah tawar penuh gradasi warna. Lihat, ada burung walet yang terbang mencicit memenuhi sudut pandangan ke atas langit, yang tertambat di kabel listrik dan tiang-tiang menggigil kedinginan. Tengok comberan berisi air kotor yang bercampur segala yang dihasilkan dari kamar kecil, hitam pekat permukaan airnya mengkilap karena cairan sabun, deterjen, minyak, oli dan bahan lain yang tersatukan dari segala tempat, barangkali kita bisa berkaca karena mengkilapnya. Air comberan mengalir menjauh dari kita, bersatu lagi dengan segenap sumber air tercurah di kali kecil, bermuara di sungai besar lantas menuju laut. Menguap termurnikan karena terik matahari dan mengembun terbang menjadi awan, tertiup angin melayang-layang membentuk gumpalan gulali manis. Jenuh. Hujan pun tercurah dalam tiap tetes yang menghujam bumi menghujan tanah, bau tanah. Lantas segera memasuki sela tanah, agar diresap akar dan daun pun menghijau. Sedikit tersisa jadi kubangan air di jalanan yang berlobang. Air selalu demikian bersiklus, sementara kita di peradaban menimba dan menimbang jumlahnya. Tubuh dan pakaian kita terbasuh basah, air jadi keringat dan darah dalam geliat kita. Rupanya pakaian jemuran sore ini tak cukup kering, hujan tadi siang membasuhnya lagi dari debu. Embun air di tali jemuran menetes pelan, berirama tergetar angin, barangkali embun dari air hujan yang sama dengan air ludah kita yang berproses panjang tak kita tahu pasti. Sementara dinding kamar rumah dingin dan udara lengas mejalar, nyaman untuk merebahkan diri, meresap sejuk dingin meresapi segalanya.

Coba lepas dari rutinitas yang lebih sering mengungkung dalam keseharian. Kesibukan seolah mesin yang bergerak otomatis, semua terseret. Satu dua tiga dan seterusnya membilang kepulangan, jam dinding hanya menawarkan detik, bukan penyelesaian atau kesegeraan. ‘Detik’ santai bergerak pelan beralih menyusur tiap angka dengan mekanisme berputar, tak rumit memang, tapi sering kita menganggapnya menjemukan. Bahkan seorang Taufik Ismail menuliskan bait, “Jarum waktu bila kejam mengiris”. Lamat-lamat terdengar tik-tik-tik dari jam tangan atau jam dinding yang kita lirik sebentar menghitung waktu sebab ada sesuatu (atau mungkin seseorang) yang kita tunggu, kita berpilin di hari-hari dengan kesibukan sama membuang waktu, berproses karenanya. Ada yang tertinggal, ada yang tergerak sudah dan masa depan berada di hadapan di wajah kita, yang diinginkan atau (coba) tampik. Waktu dan ruang termampatkan, mendesak meminggirkan suara kebisingan, sepi jika diresapi. Dan sore yang berbeda ini, di pusat kota, di pasar, di pinggir kali, di sudut jalan yang sepi maka sendiri seringkali berarti, menyepi, setidaknya dalam hati. Paradoks kah, menyepi dalam ramai? Saat seringkali kita mengabaikan hal-hal remeh terjadi, yang justru sebenarnya membangun suatu hari menjadi hari-hari, saat itulah sadar bahwa semua itu begitu berarti dengan  segenap peristiwa yang dialami. Bahkan jatuhnya tetesan air pun terdengar, perlahan. Tidak mesti ada Haiku, kita membilang lagi, tes tes tes.

Sore ini, bendera sudah benar-benar diturunkan, bendera yang tidak berwarna putih-polos. Besok kita pergi bekerja lagi, kita kembali ke rutinitas. ATAU, besok kita berkarya lagi, kita kembali bersiul-siul di kursi kerja dan berjalan seperti sedang menari, langkah yang berirama, menyetel musik kesukaan dubidubidam-dubidubidam, hingga nanti pulang tersenyum. Di dalam gedung kantor tempat pegawai bekerja mencari nafkah, di terminal para supir bergelut dengan stir, di pelabuhan derek-derek digerakkan buruh, sementara petani mencangkul  dengan tangan dan peluh, dan pengemis mengais remeh rejeki. Sementara para seniman (mencoba) memahami berkarya, sama saja sebenarnya, dalam alur gerak yang tersumbu di kehidupan yang sama. Selama ini tangan, kaki dan segenap anggota tubuh seolah otomastis bekerja dalam mekanisme mesin, terpacu di dalamnya bernamakan rutinitas. Kenapa kita tak melihat sisi lain? Dalam hari-hari kita bergerak, berkarya, beribadah. Lihatlah, sore kembali. Pulang. Merdeka.

Merdeka!

Merdeka!!




Samarinda, 17 Agustus 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Peran

Karl Heinrich Marx adalah sang sosialis, tepatnya pengkritik kapitalisme. Dari sosialisme berlanjut dengan modifikasinya jadi komunisme, stalinisme, maoisme, dan bahkan marhaenisme. Karl Marx identik sebagai seorang filsuf, penggagas sosialisme. Padahal dia juga ekonom, sejarawan, bahkan jurnalis disamping sosiolog yang punya teori tentang kejahatan/kriminal. Yang menjadikan seseorang sejarawan adalah keahlian atau cukup adanya minat lebih dia terhadap (ilmu) sejarah. Senada dengan definisi sosiolog, sederhananya ganti saja kata sejarah pada pengertian tadi dengan kata sosial. Seiring waktu, kita kini mengenal, atau bisa jadi dikenalkan, secara sederhana Karl Marx sebagai filsuf saja. Hanya jika kita membaca biografinya di wikipedia atau tulisan sejarah, kita akan mendapat info dia lebih dari sekadar filsuf. Hal tersebut seperti kita mengenal Benjamin Franklin sebagai Presiden AS. Padahal Franklin adalah ilmuwan sekaligus penulis juga penemu bahkan negarawan serta diplomat. Kata

aLamaKna: Perjalanan

Kau harus mendapat tempat duduk yang pas untuk bisa nyaman. Di pinggir dekat jendela kau bisa melihat pemandangan indah di luar. Hijau pepohonan, kuning padi, atau deretan bangunan berkilas seperti film terlihat dari jendela kereta atau bis. Awan menggumpal, langit biru atau kerlip lampu saat malam di darat tampak dari jendela pesawat. Laut bergelombang, garis cakrawala, atau ikan lumba-lumba berenang berkejaran ada di pandangan mata dari kapal laut. Tapi tempat duduk yang nyaman bukan sebatas soal posisi. Kata orang bijak kau harus mendapati orang yang tepat untuk perjalananmu.   Saat berpergian jauh sendirian para cowok jomblo berharap yang di sebelah adalah cewek cantik. Perjalanan jauh dan memakan waktu lama bisa tidak terasa jika diisi dengan obrolan. Tonton saja film Before Sunset. Jika tak pernah menonton film tersebut, maka cukup tonton film AADC 2 yang konon terinspirasi (atau mengambil konsep) dari film Before Sunset. Bagi cowok jomblo, mendapat teman perjalanan di seb

aLamaKna: Sepakbola

Yang Spesial, Mourinho, berseteru lagi. Kata 'lagi' cukup menjelaskan bahwa ini bukan yang pertama. Sejak menjejakkan diri di ranah Inggris dengan menangani Chelsea dia sudah menunjukkan kemampuan strategis di dalam dan, tentu saja, di luar lapangan. Kali ini dia mengawali dengan sindiran "badut" melalui media. Itu jelas pancingan, kepada Klopp dan Conte. Bukan Mou kalau tidak cari rusuh dan musuh. Yang merespon cuma dan hanya Conte. Mou, panggilan Mourinho, dikenal pelatih/manajer cum 'psikolog hebat'. Kemampuan perang urat saraf tak diragukan, emosi musuh campur aduk. Taktis dan dinamis bertolak belakang dengan pilihan strategi permainannya. Dia bisa diam cuek lantas tiba-tiba berkomentar tajam, kepada pelatih lawan bahkan ke pemain sendiri. Conte masuk perangkap. Jelas Mou sudah menyiapkan jawaban-jawaban atas (apapun) respon Conte. Dia sudah menghapal skrip yang dia susun. Di akhir-akhir Conte mati kutu, dengan kepala mendidih, cuma bisa bilang "s