Kini
wanita cantik banyak, mulai dari Dian Sastrowardoyo, yang ternyata cucu seorang
sastrawan Indonesia, sampai yang sekarang bisa sering dilihat di televisi
tersebutlah Raisa Andriana. Dari selebritis film, model sampai penyanyi. Bahkan
di Eropa dan Amerika kata cantik dalam (penilaian) ruang publik melintas dan
nyasar pada para atlet, olahragawan sampai penulis. Cantik dalam arti lain juga
ada, si cilik Afiqah Amanina Ibrahim yang imut dan punya bakat cantik
sampai-sampai heboh dibicarakan sekarang. Omong-omong sejak kapan cantik
menjadi suatu bakat? Ini cuma ungkapan penulis terkait fenomena publik(asi)
terhadap suatu ukuran kecantikan baik langsung ataupun tidak langsung. Yang
langsung menyangkut nilai atau ukuran kecantikan contohnya adalah pemilihan
putri kecantikan atau apa yang ada dan terjadi dalam industri hiburan saat ini.
Anggaplah cantik itu suatu ukuran yang terstandarkan atau lebih tepat bisa
distandarkan, dari mulai yang bisa diketahui sejak kecil, cantik tanpa polesan
kosmetik, cantik dengan makeup atau bahkan bisa didapati dari
kepribadian. Untuk yang terakhir disebutkan terdengar cukup ideal(is) dan malah
seperti yang sering diujarkan para peserta pemilihan putri kecantikan dan
sejenisnya.
Peserta
pemilihan putri kecantikan yang memang (dan harus) punya wajah cantik, dalam
standar tertentu dan ditentukan, bisa berkata, “Kecantikan sebenarnya berasal
dari hati, itu adalah inner beauty”, sambil
tersenyum kenes. Lantas penonton bertepuk tangan dan para juri tersenyum maka
memang benar demikian bahwa kecantikan adalah inner beauty. Diakui
atau tidak inner beauty memang menentukan kecantikan
seseorang, tapi dipraktikkan atau tidak itu lain soal. Kita bisa berharap
semoga saja mereka tak meributkan jerawat satu yang tumbuh di permukaan wajah
dan angka-angka di penimbang berat badan atau bisa menawarkan senyum tulus selain
metafor dalam pemilihan kecantikan. Yang punya pandangan sedikit beda tentang
kecantikan dalam ruang media massa mungkin cuma ‘sedikit orang’. Penyanyi asal
Inggris Adele Laurie Blue Adkins adalah contoh ‘sedikit orang’ yang punya
pernyataan bahwa bentuk badannya tidak mengikut ukuran standar penyanyi di
industri musik umumnya dan dia bangga. Cuma di dimensi lain dunia paralel, akan
banyak ‘wanita biasa’ seperti Susan Magdalena Boyle yang melenggang di televisi
untuk bernyanyi dan mendapat penilaian, “Dia lebih dari sekadar cantik”. Tapi
tak perlu ke dimensi lain untuk mendapati pernyataan seorang pria bahwa
wanitanya cantik karena dicintai, bukan mencintai wanitanya karena cantik
(ehem!).
Seperti
apa cantik? Atau bisa juga pertanyaan itu diganti menjadi, cantik seperti
siapa? Menurut ukuran orang Indonesia kebanyakan, yang pertama tentu saja
cantik harus putih mulus. Lantas tinggi semampai, langsing, rambut panjang,
hidung mancung dan seterusnya. Kalaupun ada varian tak lebih dari yang tersebut
itu, cantik yang photogenic. Kita bisa
membayangkan Tamara Bleszinsky, Carissa Putri dll. Singkat kata tiap segi wajah
bahkan tubuh bisa diukur dalam centimeter atau skala tertentu untuk mendapati
kata cantik tanpa harus ada konsensus resmi sebelumnya. Kalaupun ada konsensus
resmi, pastilah tak mesti semua sepakat. Pasti ada pihak yang abstain, istilah
lebih demokratisnya adalah golput, jika cantik itu dijadikan bahan untuk
pemilihan umum. Jika diungkapkan bahwa yang dinilai itu jelek dikuatirkan takut
menyinggung perasaan yang bersangkutan, maka lebih baik abstain saja atau
bilang, “Lumayan lah, daripada lu manyun”.
Sebenarnya
ukuran cantik tiap komunitas berbeda. Orang Eropa ingin kulitnya agak gelap
untuk bisa dikatakan cantik, kata ini bagi mereka sebenarnya lebih dekat ke
definisi eksotis. Maka tak heran wanita Eropa lebih senang berjemur di pantai
daripada pergi ke salon untuk memutihkan kulit. Dan jangan tersenyum melucu
jika melihat pria bule di Bali menggandeng wanita Asia berkulit kontras dengan
kulit dia, jauh dari apa yang bisa kita katakan sebagai pasangan serasi. Alasan
memutihkan kulit tak logis mengingat kulit mereka sudah benderang.
Bertolakbelakang dari itu, wanita Indonesia kebanyakan ingin kulit putih. Maka
tak heran krim atau obat pemutih berseliweran lewat dari mulai pariwara
televisi sampai spanduk iklan pinggir jalan. Dan jangan tersenyum menghibur
jika melihat seorang ibu berumur kepayahan memakai sepatu hak tinggi. Sepatu
hak demi hak kewanitaan, kah?
Sebenarnya
(ukuran) cantik itu memang subjektif, tergantung mata yang melihat, bisa juga
tergantung suasana hati. Jika seorang cowok ditanya apakah Dian Sastrowardoyo
cantik, lantas dia menjawab, “Biasa saja, lebih cantik pacarku”, sementara jika
seorang cewek ditanya pertanyaan serupa, lalu dia menjawab, “Cantikan aku,
dong”. Dua jawaban tersebut bisa menjadi kesimpulan bahwa cantik memang benar
subjektif.
Seperti
halnya bahasa, kecantikan juga ditentukan oleh kekuasaan dan penguasaan subjek
tertentu, terutama kaum pria. Namun subjek yang menentukan hitam-putih dan
warna lain kini tak sebatas dari otoritas orang per orang tapi juga tatanan
sosial. Bahkan kini definisi cantik melampaui gramatikal di kamus dan
ditentukan oleh suatu industri. Untuk mendapati definisi cantik yang obejktif
mungkin kita perlu bertanya pada rumput yang bergoyang. Tulisan ini tidak
bermaksud mencari definisi cantik, hanya menyorot fenomena yang terjadi di
masyarakat dan sepenuhnya menyerahkan hal cantik ke khalayak. Daripada
kesimpulan atau penutup tulisan ini mengarah ke hal terlalu serius dan semakin
membosankan, lebih baik ditutup dengan pertanyaan (bukan pernyataan) khas
aLamaKna.
“Apakah
Dian Sastrowarodoyo cantik?”
Samarinda, 18 Februari 2012
Komentar
Posting Komentar