Langsung ke konten utama

aLamaKna: Komentar

Semalam ada acara Rising Star. Tipikal acara pemilihan bintang televisi, kontestan menampilkan bakatnya di panggung dan dinilai. Penilaian dilakukan oleh experts atau para ahli dan penonton. Experts (yang di acara sejenis berbeda penyebutan) mengomentari penampilan kontestan secara teknis. Masyarakat luas yang menonton bisa berbeda pendapat atau seiya dengan mereka. 

Media massa, tak sebatas televisi, dan media sosial (medsos) dalam jaring internet menyediakan banyak panggung atau layar bagi kita. Sebagian (besar) dari kita tertarik melihatnya, sebagian lain tidak. Sebagian menjadikannya sebagai bahan obrolan, sebagian lain tidak. Yang punya pulsa berlebih bisa kirim dukungan via sms, atau vote melalui aplikasi ponsel. Atau, cukup menulis komentar penilaian di media sosial semacam facebook, twitter, path, dll. 

Di ajang pemilihan bintang para juri relatif lebih aktif menilai, di media sosial masyarakat luas yang aktif menilai. Panggung kontes pemilihan bintang riil adanya dan yang-tampil adalah mereka yg dirasa punya bakat. Sementara panggung lain yg maya ada di jejaring medsos dan diisi oleh apapun dan banyak hal. 

Panggung lain tersebut adalah berita dari laman koran virtual, blog, atau bahkan cuma akun medsos, yang tak jarang anonim dan/atau berceloteh tanpa dasar. Panggung yg membesar atau meluas seiring sharing (penautan) dari sekian banyak pengguna medsos. Panggung yg cepat berganti. Lahan komentar terbuka, yang kemudian jadi ruang diskusi, sekadar berbagi atau jadi ajang debat kusir. Jadi pengetahuan atau jadi dasar keingintahuan. 

Penyebaran viral via medsos sama ribut dan riuh, penuh komentar. Gosip beralih rupa. Tak jarang komentar malah tanpa arah dan bisa mengena siapa saja. Selebritis, politikus, presiden, bahkan wanita bernama Florence serta berita tentang pemerintah, tentang perceraian, tentang agama, sampai tentang kisah hidup Norman. Penting atau tidak tergantung sudut pandang. Asyik bisa tahu banyak hal. Dan, tentu saja lebih asyik selanjutnya bisa mengomentari banyak hal. 

Jarang ada verifikasi kebenaran berita. Banyak yg lupa tentang ad hominem. Banyak yg lupa kita punya dua telinga dan satu mulut. Yang-bijak percaya hal tersebut agar kita lebih banyak mendengar daripada berbicara (baca: berkomentar!). Tak jarang kita mendengar untuk sekadar membalas pernyataan lawan bicara, bukan mendengar untuk memahami pernyataan. Dan sekarang, kita sadar bahwa kita punya banyak jari untuk mengetik di ponsel/komputer serta tak perlu repot memfungsikan telinga dlm diskusi, cukup membaca dan mengetik. 

Tentu saja ada banyak sisi di panggung riuh-rendah medsos, termasuk sisi positif. Berbagi (sharing) dan diskusi via medsos bisa bermanfaat. Jangan terlalu serius dan jangan sinis, tak baik buat pencernaan. Namun fenomena kini menimbulkan pertanyaan, "Apakah kita berbakat jadi komentator?" Sebab mengomentari banyak hal kini begitu mudah (eh, tulisan ini juga harusnya diimbuhi #KomentarUsil). Atau, jangan-jangan kita sudah menjadi hakim! Bermaksud menghakimi setiap hal. Syukurlah, asal jangan jadi Tuhan. 



Samarinda, 13 September 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Perjalanan

Kau harus mendapat tempat duduk yang pas untuk bisa nyaman. Di pinggir dekat jendela kau bisa melihat pemandangan indah di luar. Hijau pepohonan, kuning padi, atau deretan bangunan berkilas seperti film terlihat dari jendela kereta atau bis. Awan menggumpal, langit biru atau kerlip lampu saat malam di darat tampak dari jendela pesawat. Laut bergelombang, garis cakrawala, atau ikan lumba-lumba berenang berkejaran ada di pandangan mata dari kapal laut. Tapi tempat duduk yang nyaman bukan sebatas soal posisi. Kata orang bijak kau harus mendapati orang yang tepat untuk perjalananmu.   Saat berpergian jauh sendirian para cowok jomblo berharap yang di sebelah adalah cewek cantik. Perjalanan jauh dan memakan waktu lama bisa tidak terasa jika diisi dengan obrolan. Tonton saja film Before Sunset. Jika tak pernah menonton film tersebut, maka cukup tonton film AADC 2 yang konon terinspirasi (atau mengambil konsep) dari film Before Sunset. Bagi cowok jomblo, mendapat teman perjalanan di...

aLamaKna: Pas

Sebenarnya, hidup yang diharapkan semua orang adalah hidup yang pas-pasan. Saat butuh rumah, ada uang pas untuk membelinya. Ketika perlu mobil, pas rejeki berlebih datang menghampiri. Harapan pas kena dengan keadaan. Keinginan pas menjadi kenyataan. Tapi, bisa juga saat usaha mulai lancar atau dapat gaji tambahan kemudian jatuh sakit. Pas juga. Dari sudut pandang berbeda, "Coba kalau sakitnya pas tidak ada uang?" Dari ranah religi kita ketahui ada takdir, ketetapan Tuhan. Jodoh, rejeki, dan hidup-mati ada di tangan Tuhan. Rejeki yang kita terima sudah ditetapkan. "Rejeki tak pernah tertukar," kata orang bijak. Artinya kadar rejeki seseorang sudah pas ditentukan. Namun, mereka yang fatalis yang sepenuhnya hanya percaya bahwa ketetapan itu tak bersyarat, tidak ingin bersusah payah mendapatinya. Jangan jadi fatalis. Ada penjelasan lebih lanjut mengenai ketetapan Tuhan. Tetap saja rejeki yang ditetapkan tersebut berbanding lurus dengan usaha. Oh iya, rejeki tidak mesti ...