Pemilihan DKI-1 sudah
lewat. Jadi sorotan se-Indonesia. Yang terpilih kita sudah sama-sama tahu
sosoknya. Ada anggapan bahwa dia tak punya tampang untuk jadi seorang Gubernur
Provinsi, terlebih untuk wilayah sekelas Ibukota negara yang jadi etalase
negara. Lah, koki Juna juga sebenarnya tak punya tampang untuk jadi
tukang-masak, malah menurut saya lebih pantas jadi tukang-pukul. Tapi, nyatanya
dia jadi terkenal sebagai koki-selebriti. Meski beda konteks, dari dua hal
tersebut kita jadi diyakinkan, "Don't judge the book by its cover",
jangan menilai buku dari sampulnya.
Buku yang punya isi sekalipun tak pernah menelanjangi dirinya tanpa sampul. Tentu saja sampul itu penting. Terlebih jika kita pergi ke toko buku. Berniat beli buku dari sekian banyak buku, penasaran isi salah satu buku yang kita anggap menarik, tapi tak diperkenankan buka bungkus plastiknya. Yang bisa terlihat cuma sampulnya. Kalau cukup berani, sih, bisa saja sobek bagian bawah bungkus plastik dengan menekuk bukunya, ambil buku dari bungkusnya perlahan. Semoga tak ketahuan penjaga toko. jadi, mau tak mau yang kita lirik pertama kali adalah sampulnya, bukan penjaga tokonya!!
Banyak buku dengan judul provokatif, mengundang rasa ingin tahu (bikin penasaran), disertai kontroversi, atau dengan label, "best seller", "bacaan cerdas", "buku pilihan", dll, tentu saja demi menarik minat baca. Atau, lebih tepatnya untuk dibeli. Soal nanti setelah dibaca ternyata tak cukup bisa kita kategorikan sebagai layak baca, itu soal selera. Atau justru label best seller pada buku tsb punya ukuran tersendiri yang ganjil. Sebenarnya aneh juga kalau ada buku baru terbit langsung pasang label 'best seller'. Kenyataanya kini memang ada demikian, malah cukup banyak.
Ada juga buku dengan judul bahasa Inggris tapi, kok, isinya tetap saja berbahasa Indonesia. Saya jadi ingat pernyataan Yusril Ihza Mahendra saat disentil lawan-politiknya dalam debat (bakal) calon presiden tahun 2004, kenapa Yusril yang tak becus berbahasa Inggris berani maju mencalonkan diri. Yusril merespon, kenapa juga harus ngomong (campur) bahasa Inggris, memang mau jadi Presiden Amerika. Barangkali lawan politiknya cuma mau menyampuli dirinya dengan kekenesan atribut (bahasa) saja. Hal tersebut mengingatkan saya pada Nelson Mandela dengan pernyataan, "Jika Anda berbicara kepada seseorang menggunakan bahasa yang ia mengerti, kata-kata itu akan tersimpan di kepalanya. Namun, jika Anda berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa yang ia gunakan, kata-kata itu akan tersimpan di hatinya".
Sama seperti buku, (calon) pemimpin kita juga coba menarik perhatian dengan cara 'menyampuli' dirinya. Macam-macam, mulai dari gelar akademik (meskipun HC) sampai tampilan gagah dan bersahajanya. Selalu yang positif tanpa cela. Kata seorang pengamat politik, pencitraan itu perlu. Ada dua jenisnya, pencitraan positif dan pencitraan kosong. Positif jika pencitraan yang diberikan ke umum memang adanya demikian. Tapi, kosong jika yang dicitrakan malah tidak benar sesuai kenyataan atau malah sebaliknya.
Psikolog menyatakan manusia perlu dan memang ada dalam atributnya masing-masing. Atribut tak cuma jam tangan perlente, baju modis, celana panjang mahal, dasi berkelas, dll yang tampak. Termasuk jabatan, gelar maupun pengakuan dan pencapaian. Itu terkait aktualisasi diri. Aktualisasi derajat manusia Indonesia salah satunya dari gelar haji. Mumpung lebaran-haji sebentar lagi, mari doakan para jamaah haji kita sekembali dari Tanah Suci jadi haji mabrur dan tidak perlu bikin KTP baru.
Hal yang menarik dari gelar sebagai atribut adalah, seorang insinyur tak mesti jadi arsitek, seorang sarjana kehutanan boleh saja jadi Walikota atau 'cuma' jadi tukang kayu dan seorang akuntan bisa saja jadi tukang-jaga-gudang. Soekarno adalah seorang insinyur dan Lech Walesa, presiden Polandia medio awal 90an, adalah seorang tukang-listrik! Kini era ketika buku yang laris adalah bersampulkan desain yang unik, berciri khas sendiri, tak mesti mengaku 'best seller', atau istilah gaulnya, 'tak mainstream'. Karena yang mainstream terlalu biasa.
Ini bukan paradoks, ironi atau menyelewengkan ilmu (keluar dari jalur), tapi soal kepedulian dan kapasitas. Seorang ustadz menyatakan bahwa dia tak habis pikir kenapa banyak lulusan Universitas Al Azhar Mesir malah jadi pengusaha kecil bahkan pedagang. Mungkin dia lupa, ladang amal tak cuma dari suara (dakwah), tapi tindakan amaliah dalam keseharian. Ada kisah seorang pengusaha non-muslim yang jadi mualaf 'hanya' karena melihat anak buahnya rajin solat meski sibuk bekerja.
Kembali ke hal pemilihan pemimpin, saya jadi ingat saat kecil pertama kali tahu ada pemilihan kepala desa. Dulu calon kepala desa kami dipilih dengan pencoblosan juga. Tapi, yang dicoblos adalah gambar seperti terong, labu, kelapa, dan sayuran lain dengan nomor urut dan nama masing-masing mewakili tiap calon kades. Lucu juga, tak ada foto calon kades yang dipajang besar untuk kampanye dan jadi ajang narsis. Lucu juga, ini seperti memilih kucing dalam karung. Atau malah, lucu juga bisa memungkinkan ada kampanye menyampuli-diri, "Pilih Haji A, juragan terong yang menyukseskan program terong murah".
Samarinda, 22-25 Oktober 2012
Buku yang punya isi sekalipun tak pernah menelanjangi dirinya tanpa sampul. Tentu saja sampul itu penting. Terlebih jika kita pergi ke toko buku. Berniat beli buku dari sekian banyak buku, penasaran isi salah satu buku yang kita anggap menarik, tapi tak diperkenankan buka bungkus plastiknya. Yang bisa terlihat cuma sampulnya. Kalau cukup berani, sih, bisa saja sobek bagian bawah bungkus plastik dengan menekuk bukunya, ambil buku dari bungkusnya perlahan. Semoga tak ketahuan penjaga toko. jadi, mau tak mau yang kita lirik pertama kali adalah sampulnya, bukan penjaga tokonya!!
Banyak buku dengan judul provokatif, mengundang rasa ingin tahu (bikin penasaran), disertai kontroversi, atau dengan label, "best seller", "bacaan cerdas", "buku pilihan", dll, tentu saja demi menarik minat baca. Atau, lebih tepatnya untuk dibeli. Soal nanti setelah dibaca ternyata tak cukup bisa kita kategorikan sebagai layak baca, itu soal selera. Atau justru label best seller pada buku tsb punya ukuran tersendiri yang ganjil. Sebenarnya aneh juga kalau ada buku baru terbit langsung pasang label 'best seller'. Kenyataanya kini memang ada demikian, malah cukup banyak.
Ada juga buku dengan judul bahasa Inggris tapi, kok, isinya tetap saja berbahasa Indonesia. Saya jadi ingat pernyataan Yusril Ihza Mahendra saat disentil lawan-politiknya dalam debat (bakal) calon presiden tahun 2004, kenapa Yusril yang tak becus berbahasa Inggris berani maju mencalonkan diri. Yusril merespon, kenapa juga harus ngomong (campur) bahasa Inggris, memang mau jadi Presiden Amerika. Barangkali lawan politiknya cuma mau menyampuli dirinya dengan kekenesan atribut (bahasa) saja. Hal tersebut mengingatkan saya pada Nelson Mandela dengan pernyataan, "Jika Anda berbicara kepada seseorang menggunakan bahasa yang ia mengerti, kata-kata itu akan tersimpan di kepalanya. Namun, jika Anda berbicara dengan seseorang menggunakan bahasa yang ia gunakan, kata-kata itu akan tersimpan di hatinya".
Sama seperti buku, (calon) pemimpin kita juga coba menarik perhatian dengan cara 'menyampuli' dirinya. Macam-macam, mulai dari gelar akademik (meskipun HC) sampai tampilan gagah dan bersahajanya. Selalu yang positif tanpa cela. Kata seorang pengamat politik, pencitraan itu perlu. Ada dua jenisnya, pencitraan positif dan pencitraan kosong. Positif jika pencitraan yang diberikan ke umum memang adanya demikian. Tapi, kosong jika yang dicitrakan malah tidak benar sesuai kenyataan atau malah sebaliknya.
Psikolog menyatakan manusia perlu dan memang ada dalam atributnya masing-masing. Atribut tak cuma jam tangan perlente, baju modis, celana panjang mahal, dasi berkelas, dll yang tampak. Termasuk jabatan, gelar maupun pengakuan dan pencapaian. Itu terkait aktualisasi diri. Aktualisasi derajat manusia Indonesia salah satunya dari gelar haji. Mumpung lebaran-haji sebentar lagi, mari doakan para jamaah haji kita sekembali dari Tanah Suci jadi haji mabrur dan tidak perlu bikin KTP baru.
Hal yang menarik dari gelar sebagai atribut adalah, seorang insinyur tak mesti jadi arsitek, seorang sarjana kehutanan boleh saja jadi Walikota atau 'cuma' jadi tukang kayu dan seorang akuntan bisa saja jadi tukang-jaga-gudang. Soekarno adalah seorang insinyur dan Lech Walesa, presiden Polandia medio awal 90an, adalah seorang tukang-listrik! Kini era ketika buku yang laris adalah bersampulkan desain yang unik, berciri khas sendiri, tak mesti mengaku 'best seller', atau istilah gaulnya, 'tak mainstream'. Karena yang mainstream terlalu biasa.
Ini bukan paradoks, ironi atau menyelewengkan ilmu (keluar dari jalur), tapi soal kepedulian dan kapasitas. Seorang ustadz menyatakan bahwa dia tak habis pikir kenapa banyak lulusan Universitas Al Azhar Mesir malah jadi pengusaha kecil bahkan pedagang. Mungkin dia lupa, ladang amal tak cuma dari suara (dakwah), tapi tindakan amaliah dalam keseharian. Ada kisah seorang pengusaha non-muslim yang jadi mualaf 'hanya' karena melihat anak buahnya rajin solat meski sibuk bekerja.
Kembali ke hal pemilihan pemimpin, saya jadi ingat saat kecil pertama kali tahu ada pemilihan kepala desa. Dulu calon kepala desa kami dipilih dengan pencoblosan juga. Tapi, yang dicoblos adalah gambar seperti terong, labu, kelapa, dan sayuran lain dengan nomor urut dan nama masing-masing mewakili tiap calon kades. Lucu juga, tak ada foto calon kades yang dipajang besar untuk kampanye dan jadi ajang narsis. Lucu juga, ini seperti memilih kucing dalam karung. Atau malah, lucu juga bisa memungkinkan ada kampanye menyampuli-diri, "Pilih Haji A, juragan terong yang menyukseskan program terong murah".
Samarinda, 22-25 Oktober 2012
Komentar
Posting Komentar