Langsung ke konten utama

aLamaKna: Warteg

Makanan cepat saji di Indonesia jelas berbeda dengan di Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara asal. Bukan pada rasa, sebab waralaba (franchise) menekankan pada resep, penyajian dan pelayanan yang standar. Rasa relatif tak jauh beda, meski bagian pemasaran pewaralaba berprinsip, "Harus disesuaikan dengan lidah konsumen lokal". Di Indonesia kita membicarakan makanan cepat saji pada dampak, sementara di negeri Uda Sam (US) mereka melihat sebagai respon terhadap kepraktisan. 

Fastfood berkembang di AS sejak abad 19, era industri dimulai. Era ketika waktu dikalkulasi dalam jam kerja, antara 8-10 jam per hari, demi produktivitas dan berimbas pada kecepatan dibutuhkan. Sarapan pagi (breakfast) bagi mereka haruslah praktis sekaligus instan, karena sebatas memutus (break) puasa (fast) makan selama tidur, fast juga berarti cepat. Sarapan pagi bisa sambil lalu, roti bakar yang disisipkan di mulut yang mengunyah sambil jalan menuju tempat kerja. 

Waktu makan siang tepat di tengah jam-produktivitas, agar tak mengganggu maka mereka merespon dengan menyajikan fastfood. Selanjutnya fastfood menyasar waktu sarapan sebelum bekerja, bahkan makan malam sepulang kerja. Hadir kios dan gerai 24 jam makanan cepat saji. Cepat disajikan, cepat pula dihabiskan. Fastfood sesimpel kau memasukkan bahan makanan setengah jadi ke oven lantas memanaskan, sesimpel memakan tanpa perlu sendok atau garpu sekalipun. Lalu, sekian lama berselang diketahui secara luas bahwa fastfood adalah nirnutrisi, maka dikenai istilah baru, "junkfood", karena lebih banyak kalori. Jadi penyebab dominan muncul angka 26% jumlah penderita obesitas di AS. 

Sampai sekarang fastfood terus bertahan sebagai bagian dari ciri ke-Amerika-an. Jika menilik sejarahnya, bisa dikatakan sangat lama. Walau proses penyajiannya dalam waktu cepat dan instan bahkan nirnutrisi, namun keberadaannya melampaui waktu dekade bahkan abad. Makanan cepat saji atau fastfood sebenarnya adalah secuil budaya (juga). Yang bertahan jelas bukan makanannya, tapi budaya instan dan praktis, atau lebih tepat sebagai kebiasaan umum. Karena budaya bagi orang kebanyakan di Indonesia adalah sebatas wayang atau batik, yang merupakan tafsiran cepat dan gampang, maka kita mengkonsumsi fastfood sebatas makanan, tanpa disadari ada perubahan gaya hidup. 

Budaya memang sesuatu yang abstrak, ia menjelma dari tingkah manusia. Ia penanda sikap maupun sifat. Berkaca dari sejarah fastfood, di AS ia adalah produk budaya. Di sini kita menerima sebagai bagian dari ekonomi, kita impor sebagai waralaba saja (karena pada kenyataannya bahan-bahan olahan tetap dari dalam negeri), lantas dinikmati sebagai bagian dari gaya hidup banal. Bagi kita fastfood adalah makanan bercitra asing yang ada di etalase mall, namun dari segi penyediaan makanan bagi mereka fastfood tak ubahnya warteg (warung tegal). 

Sekarang, silakan membayangkan warteg suatu saat kita ekspor ke mancanegara sebagai waralaba. Dengan pelayan(an) khas, ramah, apa adanya, dan bisa katakan menganut populisme, duduk sama rendah. Bau semur jengkol semerbak bisa didapati di warteg, harga murah, dan fasilitas khas (merakyat) karena kursinya yang mendekatkan tiap konsumen serta bisa bebas mengangkat kaki ke atas kursh (jika perlu dan tak perlu malu). Soal nutrisi tak usah dikhawatirkan. Untuk sayur dan lauk, seorang mahasiswa IPB pernah meneliti, bahwa tak kurang terdapat 12 jenis sayur yang diolah sebagai makanan. 

Jika fastfood punya sejarah, tentu juga warteg. Ia adalah sebentuk hasil sikap 'bertahan hidup' dalam riuh rendah komunitas masyarakat. Konon warteg lahir di Jakarta periode 1950-1960an saat pembangunan Ibukota gencar. Didirikan oleh perantau dari wilayah Tegal dan punya kekhasan tersendiri, mulai dari bentuk bangunan, warna cat, tata letak kursi dan meja, hingga sajian makanan, lantas dikenal luas sampai kini. Ia adalah sebentuk produk budaya (manifestasi kesederhanaan dan kerja keras) yang sedikit banyak memengaruhi masyarakat luas tidak terbatas pada makanan. 

Ia berada di pinggir tanpa maksud meminggirkan diri karena lahir di titik itu, namun jadi tempat berkumpul sekian banyak identitas. Mulai dari tukang becak, kuli, mahasiswa bahkan karyawan bertemu di ceruk ini. Titik keberadaannya lebih tersebar dan menopang. Di Jakarta ia adalah urat nadi komunitas luas, berada di sela-sela. Bayangkan seorang buruh bangunan yang membangun gedung pencakar langit biasa makan di suatu warteg. Apa jadinya gedung pencakar langit tanpa warteg? 

Ada guyonan seputar warteg bahwa warteg sebenarnya menggunakan teknologi sangat canggih yaitu 'layar sentuh'. Konsumen tinggal menunjuk makanan, lewat kaca yang menampilkan bermacam jenis makanan, apa yang diinginkan lantas makanan tersedia. Bayar bisa belakangan, bisa dibayar dengan duit lusuh sekalipun. Memang tak menerima pembayaran kartu kredit, tapi percayalah jika kau sudah akrab dengan pemilik warteg maka bisa dibayar dengan kredit (baca: hutang). 



Samarinda, 7 September 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Peran

Karl Heinrich Marx adalah sang sosialis, tepatnya pengkritik kapitalisme. Dari sosialisme berlanjut dengan modifikasinya jadi komunisme, stalinisme, maoisme, dan bahkan marhaenisme. Karl Marx identik sebagai seorang filsuf, penggagas sosialisme. Padahal dia juga ekonom, sejarawan, bahkan jurnalis disamping sosiolog yang punya teori tentang kejahatan/kriminal. Yang menjadikan seseorang sejarawan adalah keahlian atau cukup adanya minat lebih dia terhadap (ilmu) sejarah. Senada dengan definisi sosiolog, sederhananya ganti saja kata sejarah pada pengertian tadi dengan kata sosial. Seiring waktu, kita kini mengenal, atau bisa jadi dikenalkan, secara sederhana Karl Marx sebagai filsuf saja. Hanya jika kita membaca biografinya di wikipedia atau tulisan sejarah, kita akan mendapat info dia lebih dari sekadar filsuf. Hal tersebut seperti kita mengenal Benjamin Franklin sebagai Presiden AS. Padahal Franklin adalah ilmuwan sekaligus penulis juga penemu bahkan negarawan serta diplomat. Kata

aLamaKna: Perjalanan

Kau harus mendapat tempat duduk yang pas untuk bisa nyaman. Di pinggir dekat jendela kau bisa melihat pemandangan indah di luar. Hijau pepohonan, kuning padi, atau deretan bangunan berkilas seperti film terlihat dari jendela kereta atau bis. Awan menggumpal, langit biru atau kerlip lampu saat malam di darat tampak dari jendela pesawat. Laut bergelombang, garis cakrawala, atau ikan lumba-lumba berenang berkejaran ada di pandangan mata dari kapal laut. Tapi tempat duduk yang nyaman bukan sebatas soal posisi. Kata orang bijak kau harus mendapati orang yang tepat untuk perjalananmu.   Saat berpergian jauh sendirian para cowok jomblo berharap yang di sebelah adalah cewek cantik. Perjalanan jauh dan memakan waktu lama bisa tidak terasa jika diisi dengan obrolan. Tonton saja film Before Sunset. Jika tak pernah menonton film tersebut, maka cukup tonton film AADC 2 yang konon terinspirasi (atau mengambil konsep) dari film Before Sunset. Bagi cowok jomblo, mendapat teman perjalanan di seb

aLamaKna: Sepakbola

Yang Spesial, Mourinho, berseteru lagi. Kata 'lagi' cukup menjelaskan bahwa ini bukan yang pertama. Sejak menjejakkan diri di ranah Inggris dengan menangani Chelsea dia sudah menunjukkan kemampuan strategis di dalam dan, tentu saja, di luar lapangan. Kali ini dia mengawali dengan sindiran "badut" melalui media. Itu jelas pancingan, kepada Klopp dan Conte. Bukan Mou kalau tidak cari rusuh dan musuh. Yang merespon cuma dan hanya Conte. Mou, panggilan Mourinho, dikenal pelatih/manajer cum 'psikolog hebat'. Kemampuan perang urat saraf tak diragukan, emosi musuh campur aduk. Taktis dan dinamis bertolak belakang dengan pilihan strategi permainannya. Dia bisa diam cuek lantas tiba-tiba berkomentar tajam, kepada pelatih lawan bahkan ke pemain sendiri. Conte masuk perangkap. Jelas Mou sudah menyiapkan jawaban-jawaban atas (apapun) respon Conte. Dia sudah menghapal skrip yang dia susun. Di akhir-akhir Conte mati kutu, dengan kepala mendidih, cuma bisa bilang "s