Suatu hari, kantor tempat saya bekerja mendapat surat dari salah satu
instansi pemerintah. Yang bertandatangan di surat adalah kepala kantornya
dengan mencantumkan gelar yang cukup panjang.
"Kok, di instansi ini tanda tangan tuk
suratnya nyantumin gelarnya ya, Pak? Di kita kan tidak", kata saya sambil
nunjuk kop surat tersebut. "Mungkin emang gitu peraturan persuratannya",
kata Kepala Seksi HI.
Gelarnya panjang, meski sederet halaman kertas masih cukup. Ribet juga kalau namanya lebih panjang, gelarnya panjang juga. Bakal penuh sederet halaman kertas surat di pojok kanan bawah.
Coba bayangkan kalau ada nama, Badrun Bakhil Bahlul Barani Barantam dengan gelar, Profesor (Prof.), Doktor (Dr.), Raden (R.), Sarjana Hukum (S.H.), Sarjana Humaniora (S.Hum.), Master of Science (M.Sc.), dan Master of Economic Development (M.Ec.Dev).
Kenyataannya ada orang yg bergelar panjang seperti itu. Oh iya, itu belum yang bersangkutan menunaikan ibadah haji ke Makkah. Jika sudah, tambah satu gelar, Haji (H.).
Omong-omong tentang pencantuman gelar Haji, ada pada kebiasaan Melayu dulu, dan hingga kini.
Di Indonesia juga, karena kita (se)rumpun Melayu.
Dulu ada temen SMA bernama Hasan Shadilly, sering menuliskan nama depan dia dengan singkatan ‘H’. Saat ditanya alasannya, "Biar dikira Haji", jawab dia sambil tersenyum simpul.
19 April 2011
Komentar
Posting Komentar