Politik
ada di mana-mana. Tentang posisi yang nyaman atau gerak-gerik yang menelisik.
Tentang kubu-kubu sektarian atau buku-buku radikal. Di atas kursi atau di
spanduk demonstran. Di kantor atau dalam forum rapat RT. Politik secara garis
besar adalah tentang suara. Bermula dan bermuara suara.
Dulu
orator (bisa) jadi presiden, setelahnya jenderal pun jadi. Politik digerakkan
suara, dan sudah jelas semua hal bisa bersuara. Dari mulut atau senapan, suara
menyalak memang pekak didengar tapi berefek mengena. Dari uang sampai motif
kaos. Konotatif. Bahkan hati konon bisa bersuara. Tapi mendengar suara hati
butuh lebih dari sekadar indera dan perlu hati-hati. Sekarang, televisi pun
bisa lebih bersuara, volume suaranya tidak lagi diatur remote control yang kita
pegang.
Pidato
dari mulut atau bisik-bisik dari mulut ke mulut sama-sama bersuara, cuma
desibelnya berbeda-beda. Kentut juga bersuara, tapi kita tak pernah berniat
menghitung kekuatan desibelnya, hanya fokus terhadap baunya. Mengherankan,
kenapa kentut yang 'berisik' ternyata tidak bau jika dibanding kentut yg 'berbisik'.
Yang jelas kentut tidak mengenakkan hati pengentut dan pembau. Karena hal itu
suara kentut tak laku di dunia politik.
Politik
menawarkan, salah satunya adalah, demokrasi. Sistem kerakyatan yang konon
penerjemahan Vox Populi Vox Dei. Suara rakyat (adalah) suara Tuhan. Rakyat
dikerucutkan jadi wakil rakyat. Gawat kalau pemberi amanat perwakilan tidak
merasa diwakili. Rakyat memberi suara, para politikus (merasa) mendapat
jabatan. Korelasi yang sebenarnya tak sebanding. Kita memiliki banyak politikus
tapi tidak negarawan. Kita mendapati banyak partai tapi tidak (pemahaman)
ideologi.
Faktanya
demokrasi akrab dengan demonstrasi. Kita belum selesai belajar demokrasi, tapi
sudah bisa berbuat demonstratif. Yang lucu adalah salah satu organisasi massa
berlabel Pembela. Mereka jago bertindak demonstratif, berkoar lebih dari
bersuara. Keberadaan mereka hanya di negara demokrasi semacam Indonesia, tapi
ada untuk meniadakan demokrasi. Tidak mungkin organisasi seperti mereka eksis
di negara Timur Tengah, kalaupun suara mereka muncul ke permukaan, kena gebuk
terlebih dulu.
Ada
kalimat yg bisa digarisbawahi usai menonton film The Lady, menceritakan tentang
Aung San Suu Kyi, "Kamu bisa saja tidak memikirkan politik, tapi politik
selalu memikirkan kamu". Kalau suatu saat kita tidak memberikan suara di
TPS pemilu apapun, kita tetap dalam hitungan statistik golongan putih oleh
Komisi Pemilihan Umum. Weits! Dan golput pada kenyataannya adalah sikap
'oposisi' terhadap semua yang terjadi saat ini.
Samarinda,
26-27 Juni 2012
Komentar
Posting Komentar