"Tik tik, bunyi hujan di atas genteng. Airnya turun
tidak terkira," penggalan lagu masa kanak-kanak. Lagu yang mudah diingat dan dihapal. Lagu sepanjang hayat (everlasting). Entah siapa pengarangnya, saya tidak tahu pasti. Mungkin
sang pengarang juga tidak ambil pusing dengan hak cipta. Tak apa dia tidak diketahui, asalkan lagu ciptaannya dinyanyikan anak kecil dengan penuh keceriaan.
Memang tetesan hujan mengena genteng berbunyi 'tik tik'? Bukankah yang berbunyi seperti itu adalah hentakan tuts mesin tik. Itulah sebab disebut mesin tik. Tidak jadi soal, itu alih suara jadi kata saja. Onomatope (menamai sebagaimana bunyinya) tetes hujan adalah gemericik. Sama hal dengan binatang tokek berbunyi 'tokeekk'. Pengarang lagu bilang, "Di telingaku berbunyi 'tik tik'" Toh, anak-anak percaya saja. Sampai besar kita masih percaya dan memaklumi.
Nada lagu dari tiap tetes hujan konon hanya bisa didengar orang yang sedang merindu. Hujan itu romantis. "Karena hujan aku dapat mengenangmu untuk diriku sendiri", ada lagi sepotong lirik lagu tentang hujan. Sementara Efek Rumah Kaca menuliskan lirik, "Sampai nanti ketika hujan tak lagi meneteskan duka, meretas luka. Sampai hujan memulihkan luka."
Tapi apa hujan cuma milik orang yang merindu? Tidak. Hujan juga disambut senang oleh tukang ojek payung. Saat hujan anak-anak kecil bermain ceria, hujan-hujanan. Hujan disyukuri petani yang menunggu agar pematang sawah kembali dipenuhi air setelah kemarau (panjang). Hujan tidak diharapkan petani tambak garam. Dan, hujan dikutuki karena menyebabkan banjir.
Salah siapa buang sampah sembarangan di saluran air. Banjir.
24 April 2011
Komentar
Posting Komentar