Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dari September, 2014

aLamaKna: Pagi

Udara pagi mengisi rongga paru-paru. Pagi hari, saat kendaraan bermotor belum padat lalu-lalang di jalanan, menyediakan oksigen yang lebih segar tinimbang siang atau sore. Terlebih di bawah rindang pepohonan. Tiap tarikan nafas terasa ringan. Menikmati pagi pas sembari minum segelas kopi atau teh hangat bersama keluarga atau teman. Cocok pula untuk bergerak atau olahraga santai.   Bergerak di pagi hari yang cerah, banyak orang ikut kegiatan senam pagi di lapangan atau alun-alun. Banyak pula yang bersepeda. Atau, jalan kaki saja sudah cukup, tak perlu kepayahan lari untuk menyehatkan badan. Cari saja lintasan (track) yang menanjak, meski cuma jalan kaki tetap saja capek, sama seperti lari-lari santai di lintasan datar. Berjalan juga mengolah raga, makanya ada cabang olahraga jalan-cepat. Ngomong-ngomong perihal jalan-cepat dikategorikan sebagai olahraga sebenarnya masih masuk akal, yang masih jadi pertanyaan, kenapa catur termasuk cabang olahraga di beberapa even? Harusnya olah-pikir

aLamaKna: Komentar

Semalam ada acara Rising Star. Tipikal acara pemilihan bintang televisi, kontestan menampilkan bakatnya di panggung dan dinilai. Penilaian dilakukan oleh experts atau para ahli dan penonton. Experts (yang di acara sejenis berbeda penyebutan) mengomentari penampilan kontestan secara teknis. Masyarakat luas yang menonton bisa berbeda pendapat atau seiya dengan mereka.   Media massa, tak sebatas televisi, dan media sosial (medsos) dalam jaring internet menyediakan banyak panggung atau layar bagi kita. Sebagian (besar) dari kita tertarik melihatnya, sebagian lain tidak. Sebagian menjadikannya sebagai bahan obrolan, sebagian lain tidak. Yang punya pulsa berlebih bisa kirim dukungan via sms, atau vote melalui aplikasi ponsel. Atau, cukup menulis komentar penilaian di media sosial semacam facebook, twitter, path, dll.   Di ajang pemilihan bintang para juri relatif lebih aktif menilai, di media sosial masyarakat luas yang aktif menilai. Panggung kontes pemilihan bintang riil adanya dan y

aLamaKna: Mata

Setelah sekian tahun berjalan, seorang fotografer masih penasaran dengan sosok yang pernah dia foto pada tahun 1984 di suatu negeri. Foto sederhana yang ‘hanya’ menampakkan wajah seorang wanita dengan tatapan mata warna hijau nan tajam. Namun, begitu kuat menggambarkan siapa dia sebenarnya atau perasaannya. Foto yang menjadi fenomena dan terkenal di seluruh dunia. Rasa penasaran sang fotografer mengantarkan dia kembali ke ranah jauh dari rumahnya untuk mencari siapa sosok yang jadi subjek kameranya. Hingga kemudian dia terus menjelajah dan melacak wanita tersebut. Akhirnya dia berhasil menemukan wujud wanita tersebut setelah pencarian bertahun-tahun. Tahun 2002 adalah momentum saat sang wanita dan sang fotografer bisa saling menatap kembali. Wanita tersebut bernama Sharbat Gula dan sang fotografer yang mendapat penghargaan First-Place Prizes di World Press Photo tersebut tak lain adalah Steve McCurry. Kepastian bahwa sosok di foto adalah wanita yang dia temui saat itu diperoleh dari p

aLamaKna: Kota

Di suatu kota di Indonesia, kehidupan berjalan sangat cepat. Rutinitas kegiatan masyarakatnya, yg didominasi dgn bekerja mencari uang, menciptakan kehidupan yg penuh tekanan. Kota di Indonesia secara fisik berbeda dgn di Eropa. Di sini kota terbentuk oleh campur tangan penjajah dulu yg membangun atas dasar pendudukan. Sementara di Eropa, kota berkembang atas dasar peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengolah sumber daya. Di sini urbanisasi dan ketimpangan sosial mendominasi sebuah kota. Maka, jadilah kota yg penuh kebingungan, meski terus saja dinikmati masyarakatnya. Sekarang yg terpenting bagi warga kota adalah bukan hal kebingungan tersebut tapi bagaimana menjalani hidup. Mirip seperti orang tenggelam yg tak bisa berrenang, dia terus bergerak berkecipak di air untuk sampai ke permukaan daripada harus tenggelam. Sampai akhirnya dia bisa berrenang meski dgn gaya serampangan.   Di suatu kota di Indonesia, kehidupan berjalan tidaklah apa adanya. Tren dan mesin menguasai. Pembangun

aLamaKna: Masak

Bukan karena   wolak walike   jaman (dunia terbalik) jika sekarang kita bisa dapati orang memasak dengan latar belakang air terjun atau sawah. Memasak di alam bukan berarti berburu dan meramu, semua bumbu tersedia di mangkuk kecil yang entah datang dari mana. Mengulek bumbu memakai blender biar cepat. Kalaupun pakai ulekan, rasanya sang koki tak perlu sekuat tenaga fokus pada teknik mengulek, tapi pada gestur biar tetap terlihat kenes. Kini acara masak-memasak jadi tren, sementara sang koki jadi selebriti. Di dunia pertelevisian, keberhasilan suatu acara adalah bagaimana pemirsa bisa tertarik pada banyak dan tiap aspek yang diset dan ditonjolkan dengan merk. Atau, kalaupun tanpa merk, biarkan pemirsa bergumam itu mahal dan berkelas. Acara masak berarti seputar masakan, jenis/cara penyajian, peralatan masak, dan tentu saja sang koki yang (pada akhirnya) jadi subjek utama kamera dengan segala atribut yang dikenakan. Menonton acara memasak kini memang lebih memberi kesan tersendi

aLamaKna: Sampul

Pemilihan DKI-1 sudah lewat. Jadi sorotan se-Indonesia. Yang terpilih kita sudah sama-sama tahu sosoknya. Ada anggapan bahwa dia tak punya tampang untuk jadi seorang Gubernur Provinsi, terlebih untuk wilayah sekelas Ibukota negara yang jadi etalase negara. Lah, koki Juna juga sebenarnya tak punya tampang untuk jadi tukang-masak, malah menurut saya lebih pantas jadi tukang-pukul. Tapi, nyatanya dia jadi terkenal sebagai koki-selebriti. Meski beda konteks, dari dua hal tersebut kita jadi diyakinkan, "Don't judge the book by its cover", jangan menilai buku dari sampulnya.   Buku yang punya isi sekalipun tak pernah menelanjangi dirinya tanpa sampul. Tentu saja sampul itu penting. Terlebih jika kita pergi ke toko buku. Berniat beli buku dari sekian banyak buku, penasaran isi salah satu buku yang kita anggap menarik, tapi tak diperkenankan buka bungkus plastiknya. Yang bisa terlihat cuma sampulnya. Kalau cukup berani, sih, bisa saja sobek bagian bawah bungkus plastik dengan

aLamaKna: Komunikasi

Dulu ada kuis dengan aturan permainan sederhana yaitu menyampaikan satu kata tersembunyi dengan petunjuk kata-kata dari masing-masing peserta. Orang pertama tahu satu kata tersembunyi. Kata tersebut harus ditebak orang kedua berdasar kata-petunjuk dari orang pertama. Jika berhasil ditebak, maka berlanjut ke yang berikutnya sampai orang kelima. Sederhana saja tapi dengan catatan, petunjuk yang digunakan orang pertama sampai terakhir harus berbeda, tidak mengulang kata dari petunjuk yang sudah disebutkan. Tak dibolehkan ada gerak tubuh/gestur untuk menggambarkan kata yang disembunyikan. Hanya lisan yang harus diberikan secara beruntun. Sinonim, antonim atau kata-petunjuk intrinsik lain. Ternyata sulit, namun cukup menarik. Lebih sering tak sampai peserta keempat sudah gagal karena ada pengulangan kata atau peserta terlalu ekspresif menggerakkan tangan secara spontan. Kuis ini merupakan bentuk komunikasi searah, yang menguji kemampuan berbahasa peserta, berkata-kata atau lebih tepat

aLamaKna: Warteg

Makanan cepat saji di Indonesia jelas berbeda dengan di Amerika Serikat (AS) yang merupakan negara asal. Bukan pada rasa, sebab waralaba (franchise) menekankan pada resep, penyajian dan pelayanan yang standar. Rasa relatif tak jauh beda, meski bagian pemasaran pewaralaba berprinsip, "Harus disesuaikan dengan lidah konsumen lokal". Di Indonesia kita membicarakan makanan cepat saji pada dampak, sementara di negeri Uda Sam (US) mereka melihat sebagai respon terhadap kepraktisan.   Fastfood berkembang di AS sejak abad 19, era industri dimulai. Era ketika waktu dikalkulasi dalam jam kerja, antara 8-10 jam per hari, demi produktivitas dan berimbas pada kecepatan dibutuhkan. Sarapan pagi (breakfast) bagi mereka haruslah praktis sekaligus instan, karena sebatas memutus ( break ) puasa ( fast ) makan selama tidur, fast juga berarti cepat. Sarapan pagi bisa sambil lalu, roti bakar yang disisipkan di mulut yang mengunyah sambil jalan menuju tempat kerja.   Waktu makan siang tepat d

aLamaKna: Biner

Sekarang jaman modern nan canggih, era digitalisasi perangkat, termasuk kamera ikut-ikutan semakin canggih. Bilangan biner (digit) adalah olahan data yang menerjemahkan segala kecanggihan tersebut. Tak perlu paham apa itu biner, yang perlu diketahui adalah kecanggihannya. Canggih berarti rumit. Tapi, tenang saja, yang rumit cukup bagian dalamnya. Penggunaan kamera (dan perangkat lain!) semakin mudah dan memudahkan. Semua elemen kamera dimampatkan semakin kecil dan rapat, demi minimalisasi ukuran namun tak lupa pada fungsi. Penggunaannya sangat praktis hingga buku petunjuk (yang tetap saja dicetak demi   disclaimer ) bisa kita buang. Jaman modern butuh (baca: menuntut) kepraktisan. Petunjuknya silakan lihat dan pelajari langsung di panel dan/atau   learning by doing . Lebih tepatnya, kekinian mengutamakan proses yang cepat, benar-benar kini. Kau jepret, kau langsung lihat hasilnya.   What You See Is What You Get   dari Kodak baru benar-benar bisa diterjemahkan secara konotasi d

aLamaKna: Fenomena

Apa yang menarik dari tontonan kurang dari 10 detik untuk jarak 100 meter? Silakan bagi angka 100 tersebut dengan 10 atau 9. Berapa jumlah kedipan mata saat melihat seorang atlet berlari dalam waktu tak lebih dari 10 detik? Faktanya, rata-rata manusia berkedip 15 kali setiap 4 detik. Jumlah kedipan ini akan meningkat ketika seseorang dalam suasana cemas, gelisah, dan lelah. Namun perlu ditambahkan fakta baru, penonton di stadium atau televisi akan bersedia tak berkedip menyaksikan dengan cermat momen kaki-kaki melesat. Usain Bolt punya cara sendiri untuk menarik perhatian. Kita menyebut dengan ungkapan luar biasa untuk sesuatu yang unik, bukan sekadar biasa terjadi. Ada banyak fakta terjadi, tapi tidak tiap fakta menjadi pembicaraan. Ada banyak kejadian menjadi berita, tapi tidak tiap berita adalah ketakjuban. Kesan terhadap sesuatu hal yang ganjil atau menonjol berbeda dengan kesan kepada hal yang wajar saja atau taraf 'lumayan sih, daripada lu manyun'. Sesuatu yang j

aLamaKna: Putih

Apple adalah fenomena. Saat mendiang Steve Jobs memutuskan agar Apple mencipta perangkat produksinya dengan warna putih, dia berhasil mengidentikkan putih dengan Apple. Dia menyematkan ciri khas. Apple yang putih nan simpel secara tampilan ternyata jadi perhatian bahkan fenomena. Hal itu tak kurang karena personalisasi yang ditawarkan dan inovasi yang menyederhanakan tampilan tapi memaksimalkan fungsi atau penggunaan. Tampilan boleh saja putih, tapi yang ada di dalamnya lebih 'berwarna'.   Dulu, setidaknya dalam periode lama, hitam sangat populer untuk atribut perangkat. Tegas dan jantan, kata kebanyakan orang. Dari perspektif industriawan, Henry Ford pernah berkata, "Setiap pembeli bisa meminta mobil dengan cat warna apapun, selama warna itu adalah   hitam”. Tapi, warna dalam suatu perangkat ternyata relatif. Era Fordian sudah berakhir. Putih, yang jadi kontradiksi hitam, berartikan lebih elegan.   Entah ada kaitan atau tidak dengan Apple, sekarang putih jadi tren. M

aLamaKna: Asing

Di negeri tropis macam Indonesia salju cuma ada di puncak Jayawijaya. Tapi ada, kan? Meskipun sebagian besar orang Indonesia belum pernah merasakan salju langsung atau ke puncak Jayawijaya, kita ternyata punya kata 'salju' untuk menamai benda putih nan dingin itu. Mengherankan. Setidaknya jika ada pertanyaan dari orang Eropa, "Do your country have snow?" Kita bisa jawab, "Oh, salju. Of course".   Orang asing, khususnya orang Eropa, keseringan tidak tahu benar negeri kita. Maka jangan heran kalau ada kesempatan ke luar negeri kita akan ditanyai hal remeh seperti pertanyaan di atas. Maka bilang saja "I live in Bali" yang jadi semacam password (kata kunci) untuk memperkenalkan diri dan menghentikan pertanyaan aneh-aneh tentang negeri Loh Jinawi ini. Kita tidak bisa bilang, "Halo, ke mana aja, you? Masak ga kenal Indonesia". Kerutan di dahi mereka akan menambahi kernyitan.   Bali memang lebih dikenal di dunia internasional dibanding Indo

aLamaKna: Minggu

Saat kejenuhan menumpuk, istirahat jadi solusi. Istirahat fisik maupun pikiran. Hari minggu adalah jeda dari rutinitas, menghentikan aktivitas hari senin sampai jumat/sabtu. Jeda bisa berartikan 'cukup singkat' atau 'sangat singkat' karena kenyataannya minggu tetaplah 1x24 jam dalam hitungan satu pekan 7x24. Hal itu untuk pegawai yang menganut sistem kerja lima atau enam hari kerja. Namun cukup banyak perusahaan (swarta) sekarang punya sistem kerja fleksibel. Hari kerja maupun jam kerja tidak mesti dalam ukuran satu pekan dan tak harus libur untuk hari minggu, bisa digeser dan disesuaikan. Karena yang terpenting adalah produktivitas, bukan waktu kerja.   Minggu adalah nama hari yang unik. Berbeda dengan nama hari lain yang berasal dari bahasa Arab, dia kata-pinjaman dari bahasa Portugis. Dia berakar kata 'domingo' (berarti hari-Tuhan), pada mulanya diterima sebagai 'dominggu' dalam bahasa Melayu. Dari itulah kita bisa langsung tahu, dengan mengaitkan

aLamaKna: Juara

Menemukan juara adalah tujuan perlombaan atau kompetisi. Yang paling baik dari yang terbaik lah yang pantas jadi juara. Kalaulah pernyataan itu dibalik, maka juara adalah semacam pembuktian bukan lagi asumsi. Asumsi sebatas pernyataan umum saja, sementara pembuktian berarti menyimpulkan. Kalau seorang atlet sudah terbiasa latihan lari 1000 km per hari, harusnya dia bisa lari yang 'hanya' 100 meter saat perlombaan. Ada bumbu prediksi atau harapan di sana. Kompetisi selalu diawali dua hal tersebut. Yang terbaiklah jadi juara, padahal keberuntungan punya skenario tersendiri. Nyatanya ada sebutir pasir yang tiba-tiba terselip di sepatu pelari di atas yang menjadikan dia tak nyaman berlari dan akhirnya gagal jadi juara. Ada juga faktor X, tak bisa didefinisikan. Jika kata 'tidak terdefinisi' terlalu berlebihan, maka cukup dikatakan bahwa sulit didefinisikan sampai kejadian itu benar-benar terjadi. Timnas Sepakbola Denmark secara mengejutkan jadi juara Piala Eropa 92

aLamaKna: Politik

Politik ada di mana-mana. Tentang posisi yang nyaman atau gerak-gerik yang menelisik. Tentang kubu-kubu sektarian atau buku-buku radikal. Di atas kursi atau di spanduk demonstran. Di kantor atau dalam forum rapat RT. Politik secara garis besar adalah tentang suara. Bermula dan bermuara suara. Dulu orator (bisa) jadi presiden, setelahnya jenderal pun jadi. Politik digerakkan suara, dan sudah jelas semua hal bisa bersuara. Dari mulut atau senapan, suara menyalak memang pekak didengar tapi berefek mengena. Dari uang sampai motif kaos. Konotatif. Bahkan hati konon bisa bersuara. Tapi mendengar suara hati butuh lebih dari sekadar indera dan perlu hati-hati. Sekarang, televisi pun bisa lebih bersuara, volume suaranya tidak lagi diatur remote control yang kita pegang. Pidato dari mulut atau bisik-bisik dari mulut ke mulut sama-sama bersuara, cuma desibelnya berbeda-beda. Kentut juga bersuara, tapi kita tak pernah berniat menghitung kekuatan desibelnya, hanya fokus terhadap baunya. Me

aLamaKna: Asap

Ada asap ada api. Bisa dipastikan jika ada yang terbakar api maka ada wujud asap yang keluar. Bagi seorang Indian yang tersesat atau butuh bantuan, asap digunakan sebagai tanda kepada kelompok sukunya nun jauh di sana. Asap mengepul memang terlihat mencolok. Jika kita berjalan menikmati sore yang cerah kemudian terlihat ada asap mengepul di kejauhan, seketika itu kita bertanya-tanya dan penasaran. Apa yang terjadi? Barangkali ada kebakaran. Mungkin ada kompor meleduk. Bisa juga cuma karena ada seseorang yang membakar sampah kering. Tapi yang pasti bukan  suku Indian yang berniat meminta bantuan teman sukunya. Atau Farah Quin yang sedang demonstrasi masak membakar ikan hiu. Dan bukan juga segerombolan orang yang merokok rame-rame di lapangan gede demi memecahkan rekor MURI. Sekarang, asap jadi penanda ada sesuatu yang   chaos,   keadaan   yang semerawut atau tak sesuai dan tak diharapkan. Lihat saja, kebakaran lebih sering terjadi di banyak tempat. Di perumahan kelas bawah pinggir

aLamaKna: Brengsek

Brengsek hanya salah satu ungkapan kekesalan. Kata yang lahir dari spontanitas tanpa pikir panjang dan tedeng aling-aling. Semisal ada pengendara motor ngebut menyalip dan tiba-tiba membelok tanpa menyalakan lampu sein di hadapan kita saat berkendara, bisa saja dari kita seketika terlontar kata nan (tak) sakral itu. Kata brengsek memang terdengar lebih dari sekadar menggelitik. Ia pekak di telinga dan entah kenapa mesti pekik diucapkan. Ada emosi di dalamnya, menawarkan pemuasan cepat dan melepaskan suara renyah, meski tak merdu. Jelasnya, brengsek bukan ejakulasi dari situasi atau suasana yang nyaman dan lucu. Spontanitas kata brengsek ada karena kita seringkali tak (sempat) berpikir panjang menyusun kata-kata saat dihadapkan pada situasi/seseorang yang, katakanlah, menyebalkan atau menjengkelkan. Terasa aneh jika kita mendapati situasi seperti diceritakan di awal lantas berkata, “Wahai pengguna motor yang berkendara tidak sesuai aturan lalu lintas, kiranya engkau sudi menyalakan