Langsung ke konten utama

aLamaKna: Tunggu

Menunggu, hal yang sangat membosankan. Semua orang tahu itu. Tapi mungkinkah menunggu menjadi hal yang menakutkan? Bayangkan saja Anda sakit gigi di ruang tunggu Dokter Gigi, membaca majalah yg entah kapan tahun terbitnya, menunggu giliran periksa gigi, dan terdengarlah erangan sakit dari dalam ruang dokter.

Saya tidak mengalami kejadian tersebut, dan semoga tidak akan pernah. Tapi terkait ruang tunggu, saya pernah berada di ruang tunggu bandara. Memang sejuk, ada AC alias pendingin ruangan. Memang nyaman, kursi empuk. Memang menjemukan, maka saya beli koran untuk dibaca. Tiba-tiba pengumuman pesawat ditunda. Saya tepuk jidat, "Aduuh, jatah waktu di Pulau Jawa berkurang.". 

Seorang Ibu perlente di sebelah protes marah ke pegawai maskapai yg mencoba menjelaskan penundaan. Bagi penganut aliran bijak ala Ebiet G. Ade menunggu tak jadi soal, "Menunggu adakala terasa mengasyikan, banyak waktu kita miliki, untuk berpikir," selarik lirik lagu Tatkala Letih Menunggu. Saya membayangkan, andai Ibu tersebut penganut aliran Ebiet, tentu beda menyikapi.

Mungkin Ibu itu sebenarnya penganut aliran Ebiet. Dia bisa menunggu dan mencoba berpikir. Tapi sial, yg dia pikirkan kalkulasi angka-angka, sebab keterlambatan menghadiri rapat proyek bernilai miliaran. Wajar. Penganut aliran Bondan Prakoso yang selengean seperti saya cuma bisa bilang, "Ya sudahlah."

Betul Ebiet, menunggu bisa mengasyikkan. Tanyakan ke seorang gadis yg menunggu kedatangan kekasihnya dari jauh untuk janji makan malam. Tiap detik mendebarkan. Tapi kalau kekasihnya menggunakan maskapai yg sama dengan saya, cerita tentang gadis dan kekasihnya tersebut bisa berbeda. Gadis tersebut penganut aliran, "Cinta bisa memilih, tapi cinta tak bisa menunggu." Waktu menunggu sudah habis. Dan memang, pernyataan tersebut benar adanya, kawan. 

"Cinta tak bisa menunggu", saya tahu pasti.


25 April 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...