Langsung ke konten utama

aLamaKna: Asap

Ada asap ada api. Bisa dipastikan jika ada yang terbakar api maka ada wujud asap yang keluar. Bagi seorang Indian yang tersesat atau butuh bantuan, asap digunakan sebagai tanda kepada kelompok sukunya nun jauh di sana. Asap mengepul memang terlihat mencolok. Jika kita berjalan menikmati sore yang cerah kemudian terlihat ada asap mengepul di kejauhan, seketika itu kita bertanya-tanya dan penasaran. Apa yang terjadi? Barangkali ada kebakaran. Mungkin ada kompor meleduk. Bisa juga cuma karena ada seseorang yang membakar sampah kering. Tapi yang pasti bukan  suku Indian yang berniat meminta bantuan teman sukunya. Atau Farah Quin yang sedang demonstrasi masak membakar ikan hiu. Dan bukan juga segerombolan orang yang merokok rame-rame di lapangan gede demi memecahkan rekor MURI.

Sekarang, asap jadi penanda ada sesuatu yang chaos, keadaan yang semerawut atau tak sesuai dan tak diharapkan. Lihat saja, kebakaran lebih sering terjadi di banyak tempat. Di perumahan kelas bawah pinggir kota bahkan gedung tinggi. Kebakaran hutan merembet segampang niat membuka ladang, hembusan angin, dan kelalaian menjaga hutan. Mengenai asap dari kebakaran hutan, kita pernah mengekspor khusus tanpa bea-keluar ke negara tetangga. Kepulan akumulasi asap knalpot kendaraan bermotor di langit Jakarta bikin geregetan aktivis peduli lingkungan. Idiom kebakaran jenggot semakin sering terdengar di media karena perkara korupsi. Asapnya konotatif, penonton turut penasaran menilik lebih dalam ada apa di balik asap karena kebakaran jenggot itu.

Selain itu, ada juga sumber kepulan asap yang begitu dekat dan mengasah sikap toleransi dan permisif, yaitu rokok. Di terminal, dalam kendaraan umum, di pasar, bahkan dalam ruang kantor asap rokok dihisap dan dihembuskan tanpa aba-aba. Asap rokok dikutuk banyak orang namun sekaligus dipuja (bagi segelintir orang). Masyarakat melihat asap rokok dalam hal antara kesehatan dan kenikmatan. Sedangkan pemerintah memandang dalam hal antara pendapatan cukai dan pengeluaran dana kesehatan publik. Jika asap-asap itu adalah masalah, yang pasti karena api membakar tidak pada tempatnya dan berlebihan.

Lebih jauh lagi, ternyata asap juga penanda (bukan sekadar tanda) yang demonstratif. Ia bisa mengepulkan kemarahan, memenuhi ruang pandangan dan menyesaki ruang nafas  menuntut (bukan menuntun) kita berwacana dan bersikap aksi. Demonstrasi yang terjadi saat ini selain penuh suara juga penuh asap. Apa-apa sengaja dibakar untuk menunjukan sikap protes. Tidak pakai bakar-bakaran pasti kurang seru dan media kurang bahan pemberitaan. Sebenarnya masih mending bakar kambing guling rame-rame di tengah jalan dan demo bisa tetap jalan dengan perut kenyang. Asap yang muncul dari pembakaran demonstran tentu saja tak bisa diharapkan untuk mengeluarkan jin dari sibakan asap itu. Tak ada jin yang akan keluar dan memenuhi tiga permintaan, bahkan tidak untuk satu permintaan sekalipun. Dari kepulan asap ada amarah yang meledak dan merembet, seperti ledakan bom molotov (yang juga berasap tebal). Semakin tebal asap semakin menggelegar suara. Suara itu bisa karena kita batuk atau kita berorasi. Selanjutnya kita semua sama-sama tersedak, batuk dan tindakan pembakaran itu bisa saja berakhir pada ‘seperti menggantang asap’.

Memang, untuk tahu lebih jauh dan jernih kita perlu menyibak asap itu perlahan. Ada apa dengan asap? Yang pasti ada api. Mengapa asap semakin tebal? Mungkin karena apinya menjalar. Bagaimana menghilangkan asap? Siram api dengan air dingin secukupnya. Mereka (yang konon membawa aspirasi rakyat) sama seperti anak kecil nakal yang bermain-main dengan korek api dekat pom bensin. Kebetulan tema yang diusung terkait rencana kenaikan Bahan Bakar Minyak (BBM). Kita tahu BBM adalah zat yang mudah terbakar jika terkena api kecil sekalipun. Siapa pun yang ‘bermain api’ di dekatnya hampir bisa dipastikan kena bakar atau asapnya. Kalau ditilik lebih jauh, yang bermain api terhadap BBM bukan mereka para demonstran, tapi pemerintah. Pemerintah perlu sabar, arif dan berani menyibak api dan asap yang sudah ada. Perlu ada solusi di hulu, bukan terkait naik harga atau turun harga sekalipun, bukan pada hitungan angka dan bukan pada gas air mata, lebih baik ganti pakai gas tawa saja.

Ah, barangkali para demonstran cuma ingin meniru tindakan suku Indian, ‘kepulkan asap untuk meminta bantuan’. Kalau asap itu sampai ke langit, mungkin Tuhan akan melihat dan menurunkan bantuan. Kalau tidak sampai langit, asap itu akan terakumulasi di langit-langit kemudian pada akhirnya yang di lantai atas akan bersedia turun atau setidaknya bersedia melongok ke bawah, "Ada apa, rame-rame gini?". Analogi yang lebih sederhana, jangan-jangan asap yang dikepulkan berarti As Soon As Possible, semacam kode saja. Ini percakapan dua pihak (bukan) di dunia maya. Pihak yang memunculkan ASAP ingin segera diberi jawaban atau perhatian. Cari perhatian, nih ye.




Samarinda, 30 Maret 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Masalah

"Tiap masalah ada jalan keluar, tapi jangan lewat jendela",  n asihat dengan candaan. Apa benar tiap masalah pasti ada jalan keluar? Kalau tidak lewat jendela, yang benar adalah lewat pintu. Yang lewat jendela bukan menyelesaikan masalah, tapi cari masalah. Jalan yang dianggap aman oleh maling adalah jendela. Jendela adalah jalan masuk ke masalah, bukan jalan keluar dari masalah. Jangan lewat jalan pintas, alih-alih menyelesaikan masalah, malah kena masalah. Bisa jadi. Ada banyak kemungkinan bagi jalan keluar dari permasalahan. Kalau pun berkelok dan mesti melewati banyak pintu, jalan keluar adalah tantangan. Bijak saja, untuk dihadapi dan ditemukan. Mirip-mirip labirin. Bisa jadi kita berputar di satu titik saja. Bikin pusing. Namanya juga labirin. Masalah mirip soal matematika, perlu analisis. Matematika itu logika. Kalau paham logika (dasar) ilmu hitung, soal serumit apa pun bisa terselesaikan. Soal 2+3x9^2/6x90x80x2x3Log100/0x500/3-2, tentu bisa dijawab jika memahami ...

aLamaKna: Fenomena

Apa yang menarik dari tontonan kurang dari 10 detik untuk jarak 100 meter? Silakan bagi angka 100 tersebut dengan 10 atau 9. Berapa jumlah kedipan mata saat melihat seorang atlet berlari dalam waktu tak lebih dari 10 detik? Faktanya, rata-rata manusia berkedip 15 kali setiap 4 detik. Jumlah kedipan ini akan meningkat ketika seseorang dalam suasana cemas, gelisah, dan lelah. Namun perlu ditambahkan fakta baru, penonton di stadium atau televisi akan bersedia tak berkedip menyaksikan dengan cermat momen kaki-kaki melesat. Usain Bolt punya cara sendiri untuk menarik perhatian. Kita menyebut dengan ungkapan luar biasa untuk sesuatu yang unik, bukan sekadar biasa terjadi. Ada banyak fakta terjadi, tapi tidak tiap fakta menjadi pembicaraan. Ada banyak kejadian menjadi berita, tapi tidak tiap berita adalah ketakjuban. Kesan terhadap sesuatu hal yang ganjil atau menonjol berbeda dengan kesan kepada hal yang wajar saja atau taraf 'lumayan sih, daripada lu manyun'. Sesuatu yang j...