Langsung ke konten utama

aLamaKna: Nikah

Dulu, Guru Agama SMA menjawab diplomatis, "Ah, itu kalian aja yg ngebedain dua istilah tersebut. Sama saja", saat ditanya perbedaan nikah dan kawin. Dari perspektif agama, beliau pandang (me)nikah sebagai ibadah, menggenapkan separuh agama. Beliau tak tahu menahu soal perbedaan makna kata dan nuansa.

Nyatanya ada UU Perkawinan, UU Nomor 1 tahun 1974, tapi tak ada UU Pernikahan. Dua puluh sembilan tahun setelah Indonesia merdeka. Itu legalitas menurut ketentuan negara, pernikahan Bung Karno tetap sah dengan istri pertamanya, dengan istri selanjutnya itu hal poligami. Menikah dianggap sah sbg ikrar dua insan, tentu antara laki-laki dan perempuan, tentu ada saksi dan tak lupa tokoh agama. Islam ada penghulu, umat Kristiani mengenal pastur. Saksi cukup beberapa pasang mata. Tanpa empat miliar pasang mata menyaksikan, perkawinan bisa tetap sah. Ikrar diucapkan tanda setia. Kalau tak setia, salahkan yg ucap ikrar.

Monogami, bigami, poligami (kata Emha A. Najib: Polimonogami Monopoligami), semua ada karena perkawinan. Poligami didebatkan, sementara Dewi Yull kurang lebih pernah berkata, "Saya setuju dengan Poligami, tapi untuk menjalankannya saya tak bisa", bijak saja.

Pernikahan tentang cinta. Cinta memulai, pernikahan adalah harapan menjalani hidup sebagai pasangan, pijakan melangkah, bahtera kehidupan. Maka biasa ada ucapan, "Selamat menempuh hidup baru", "Selamat mengarungi bahtera kehidupan". Pernikahan orang-biasa dengan orang-biasa mendapat ucapan selamat yang klise. Perkawinan aristokrat lebih wah (Ikrar nikah tetap sama sama, kan? tapi entah dengan ucapan selamat pernikahannya). Banyak saksi, banyak bisik-bisik. Ada saja yg menanggapi sebagai koalisi, tanda 'persahabatan'. Itu di luar tekstual, tapi kontekstual melihatnya. Pernikahan Sultan Agung dengan putri kerajaan Cirebon, putri Parwati Kerajaan Galuh dengan Raja Mandiminyak Kerajaan Kalingga, atau Hayam Wuruk memperistri putri Dyah Pitaloka Citaresmi, tetap saja perkawinan. Memang menarik untuk dibahas, selain karena perayaan mewahnya.

Pernikahan adalah pertautan dua hati, tentu disambut senang hati. Baik dari pihak mempelai maupun keluarga. Kerabat dekat turut senang, teman ikut mendoakan. Tapi tentang hati, biasanya ada yang patah hati, dan yang ditakutkan adalah sakit hati. Semoga tidak. Turut mendoakan saja dengan tulus.

Ah, saya tidak konsisten gunakan kata pernikahan dan perkawinan. Jadi apa beda nikah dan kawin? Daripada berpusing ria, saya sepakat dengan Pak Guru, sama saja.



27 April 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Presiden

Pembahasan tentang pemimpin negeri ini (kembali) ramai dibicarakan saat ini. Riuh rendah pemilihan Presiden sudah kita lalui dan kita ketahui hasilnya. Bahkan sebelum hari H pemilihan, keramaian siapa calon pemimpin negeri ini sudah heboh menjadi viral di dunia maya. Menjelang hari H pencoblosan perang urat syaraf, argumen, cuap antar pendukung lebih panas daripada konflik Mourinho dan Wenger maupun pendukung Real Madrid dan Barcelona. Dan kini, pelantikan telah mengesahkan siapa pemimpin negeri ini. Satu kata penuh hal, Presiden. Kata tersebut disebut berulang kali dalam obrolan di tempat kerja bahkan media sosial. Kata yang jadi tema renyah untuk jadi guyonan di Stand-Up Comedy. Saya jadi ingat pelajaran Biologi saat mendengar kata tersebut, barangkali Presiden sejenis dengan spesies, banyak macamnya. Faktanya ada presiden negara, presiden partai, presiden direktur sampai dengan presiden mahasiswa. Lantas apa yang membedakan di antara semuanya? Bisa dijawab dengan hal lingkup kekuasa...

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...