Langsung ke konten utama

aLamaKna: Senam

Sinar matahari pagi sebelum jam 9 memang menyehatkan, mengandung vitamin D. Sebenarnya kurang tepat jika disebut sinar matahari mengandung vitamin D, lebih tepat bahwa kulit manusia akan mensintesa vitamin D jika terpapar sinar UV B matahari. Udara pagi menyegarkan, belum banyak kendaraan bermotor menyebarkan polusi asap. Jalanan agak lengang berbeda dengan hari biasa. Beberapa sepeda lalu lalang. Ada juga yang berjalan santai dan berlari di menyusuri trotoar dan bahu jalan di sepanjang perjalanan.Car-free day, hari tanpa kendaraan bermotor pada minggu pagi di beberapa titik lokasi. Salah satunya jalan depan stadion.

Car-free day, senam, sepeda adalah beberapa kekhasan minggu pagi. Terutama car-free day dan bersepeda, yang merupakan counter-attack dari jumlah kendaraan bermotor, menyebar sebagai kegiatan utama di seluruh kota-kota di Indonesia. Entah kota mana yang memulai. Pemerintah daerah jadi fasilitator, mengadakan kegiatan tersebut demi masyarakat. Aglomerasi, banyak orang berkerumun. Homo socius, manusia sebagai makhluk sosial saling bertemu, bersapa dan bersosialisasi. Homo ludens, manusia yang gemar bermain diwakili anak muda yang memainkan skateboard dan sepatu roda.

Stadion mulai ramai. Suara musik boogie woogie teralun, kemudian berganti musik dengan nada disko. Banyak orang bersenam. Tua muda, pria wanita, besar kecil, dan gagah cantik. Plus ada yang gemulai dengan kaos dan celana ketat, dia adalah cowok! Hentakan musik terus terdengar, gerakan senam cepat menyesuaikan. Instruktur bergerak lincah. Ibu tua yang ada di samping bergerak tidak sedikit pun terlihat kaku. Haduh, pinggul saya serasa mau copot dan dia tetap santai bergerak. Rasanya kalau mau bilang bahwa faktor U (usia) menentukan gerakan senam, jadi terasa aneh.

Di bayangan saya bahwa orang tua biasa dan lebih cocok melakukan senam Tai Chi dari negeri Cina, yang gerakannya sangat santai kayak di pantai (ini Tai Chi atau Reggae?) dan perlahan lebih ke pengaturan pernafasan, ternyata salah. Banyak yang berusia senja turut aktif bergerak, tidak terlihat kecapekan. Yang muda jarang olahraga seperti saya malah keteteran mengikuti gerakan instruktur. Kalori terbakar, keringat bercucuran, bersenam memang mengharapkan keringat. Capek, tapi menyegarkan dan menyehatkan. Kalau bersenam mengharapkan cari jodoh setelah malam minggu galau, lain cerita. Saat senam memasuki sesi pendinginan diiringi lagu bernada minor dari ratu galau Adele Blue Atkins, Don't You Remember (senam pun bisa bikin mellow).

Mens sana in corpore sano, jiwa yang sehat dalam tubuh yang sehat, ungkapan latin yang jadi jargon kesehatan. Ternyata ungkapan tersebut dicetuskan oleh seorang pujangga, bukan seorang olahragawan. Dia berasal dari Romawi bernama Decimus Iunius Juvenalis pada sekitar abad kedua Masehi. Jika badan kita kuat dan sehat maka jiwa kita pun sehat. Kalau jiwa sehat, pikiran akan jernih. Tapi kalau jiwa kita sakit, pikiran jernih pun terbang, logika kacau. Ternyata senam pagi ini berkorelasi dengan pikiran dan logika, meski tidak langsung. Senam yang langsung berhubungan dengan logika adalah senam otak. Mengerjakan soal psikotes atau Tes Potensi Akademik. Haduh! Bikin kram otak.


Samarinda, 2 November 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...