Langsung ke konten utama

aLamaKna: Masalah

"Tiap masalah ada jalan keluar, tapi jangan lewat jendela", nasihat dengan candaan. Apa benar tiap masalah pasti ada jalan keluar? Kalau tidak lewat jendela, yang benar adalah lewat pintu. Yang lewat jendela bukan menyelesaikan masalah, tapi cari masalah. Jalan yang dianggap aman oleh maling adalah jendela. Jendela adalah jalan masuk ke masalah, bukan jalan keluar dari masalah. Jangan lewat jalan pintas, alih-alih menyelesaikan masalah, malah kena masalah. Bisa jadi.

Ada banyak kemungkinan bagi jalan keluar dari permasalahan. Kalau pun berkelok dan mesti melewati banyak pintu, jalan keluar adalah tantangan. Bijak saja, untuk dihadapi dan ditemukan. Mirip-mirip labirin. Bisa jadi kita berputar di satu titik saja. Bikin pusing. Namanya juga labirin.

Masalah mirip soal matematika, perlu analisis. Matematika itu logika. Kalau paham logika (dasar) ilmu hitung, soal serumit apa pun bisa terselesaikan. Soal 2+3x9^2/6x90x80x2x3Log100/0x500/3-2, tentu bisa dijawab jika memahami dengan logika. Metode singkat ala bimbingan belajar, pada satu sisi, itu mirip-mirip jendela. Jalan pintas, jalan cepat. Tapi perkara logika apa bisa dipahami dengan serta merta?

Apa masalah (hidup) serupa soal persamaan matematika? Setidaknya bagi siswa yang akan mengikuti Ujian Nasional menjawab. "Iya, bikin pusing". Memang demikian, jika tidak bisa menjawab soal tersebut, bisa berarti menambah masalah dengan tidak lulus. Tambah pusing.

Hidup penuh dengan masalah. Yang optimis percaya tiap masalah ada jalan keluar. Yang optimis belum tentu jago matematika, tentu dengan upaya. Upaya supaya keluar dari satu permasalahan. Dan tentu saja mendapati permasalahan lain, nah lho!! Kalau ingin jauh dari masalah, jangan hidup.

Yang pesimis percaya tiap masalah adalah problem, tiap problem adalah persoalan, tiap persoalan adalah kesulitan, dst. Berlari dari satu istilah ke istilah lain. Bikin pusing, padahal sama saja. Sudah dituliskan di awal tulisan, memang demikian.

Tapi, ada saja orang yang cari masalah dan membuat masalah. Orang Inggris menyebutnya troublemaker. Pernah lihat film kartun Dennis The Menace? Bocah badung bernama Dennis berjuluk Sang Pengacau. Namanya juga anak-anak, bikin masalah tak lain karena nakal, wajar. Nakal sebab ia ingin tahu. Di mata kita (orang dewasa) yang dilakukan dia adalah masalah. Yang ditakutkan justru orang (dewasa) yang cari masalah demi sensasi.

Sebenarnya masalah tak perlu dicari, ia datang sendiri. Tidak perlu diundang, mirip Jelangkung. Tapi pulangnya harus diantar (baca: diselesaikan) biar masalah tidak tambah gede. Menjalani hidup berarti pasti menghadapi masalah. Mau tak mau. Tapi konon masalah dan solusi adalah satu paket.

Apa benar masalah selalu dapat dipersamakan dengan persamaan matematika? Menghadapi masalah seringkali logika tidak mesti perlu, tak ada rumusan. Ada yang menamakan upaya sebagai ikhtiar. Doa perlu. Berupaya bukan sebatas ber(s)upaya.

Namanya juga hidup, tidak (pernah) jauh dari masalah. Tapi jangan cari masalah!!!



8 April 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...