Langsung ke konten utama

aLamaKna: Tongkat

Tongkat bagi si buta adalah penuntun arah. Teman bagi si buta. Kecuali bagi si Buta dari Gua Hantu, ada Kliwon. Tongkat bagi si tua adalah membantu berdiri. Tidak menegakkan tubuh memang, tapi cukup untuk membuat nenek berjalan ke halaman rumah, meski susah payah, melihat cucu bermain. Tongkat bisa saja sebatang kayu atau besi. Yang pasti panjang. Bagi mereka, tongkat semacam harapan, ada upaya untuk berjalan biasa seperti yang-melihat. Upaya hebat mereka berarti kerja keras. Coba bayangkan saja, pejamkan mata dan melangkah bawa tongkat di jalan. Sulit.

Konon di negeri ini, menancapkan sebatang tongkat (kayu) bisa berarti menanamkan pohon. Karena tanah kita teramat subur. Mudah. Seperti membawa tongkat tukang-sihir dengan tak perlu kerja keras, cukup menjentikkan tongkat, keluar pijar cahaya, sihir. Tidak perlu susah payah hidup di tanah subur. Semacam ungkapan mimpi yang bisa dinyanyikan oleh Koes Plus. Namun ada negasi (dan harapan) lagu Berita Cuaca, karya Gombloh. "Bukit2 telanjang berdiri, pohon dan rumput enggan bersemi kembali". Bumi sudah tua, manusia juga. Tapi tua tak berarti bijak. Tua cuma renta dan mengharap tongkat (sihir).

Tentu saja tongkat sihir milik penyihir tak panjang. Pendek. Seperti piranti keras tuk mengucap password, adavacadabra. Tonton saja Harry Potter. Ada penyihir yg baik dan jahat. Yang jahat tak bijak mengarahkan tongkat sihirnya. Seperti AS dengan kebijakan politik 'stick and carrot', tongkat dan wortel. Tukang sulap yg memainkan sulap dg kelinci. Jika kelinci mengikuti perintah, wortel hadiahnya. Sebaliknya, jika kelinci tak bisa jadi bagian permainan sulap, pukul dengan tongkat, si kelinci hilang. Penonton tepuk tangan.

Dan kita seperti apa dengan tongkat, menjadi si buta, si tua, penyihir atau tukang sulap? Saat buta-tujuan, mungkin memang perlu tongkat. Multifungsi, kalau bertemu penjahat di tengah jalan, pukul pakai tongkat. Syukur-syukur bisa sihir. Pastilah suatu saat kita bawa tongkat. Karena tua. Pastilah kita tidak bisa (lagi) mengharap saat menancapkan tongkat tumbuh tanaman. Itu mah mimpi.


19 Mei 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...