Langsung ke konten utama

aLamaKna: Cermin

Seorang filsuf menulis, "... seperti cermin yang bercermin." Kontemplatif tingkat tinggi. Ada peribahasa, buruk muka cermin dibelah. Masih tentang cermin, beda makna.

Tahu kenapa ikan dalam akuarium tidak pernah membentur kaca yg melingkupinya? Sebab bagi ikan, kaca akuarium adalah cermin. Tapi di film Finding Nemo ikannya bisa melihat tembus lewat kaca akuarium, tuh. Itu kan fabel. Ada penelitian mengetahui cerdas mana Simpanse dibanding Gorila. Diletakkan cermin di depan keduanya. Simpanse bereaksi marah, mendengus, bertingkah waspada seolah ada musuh. Gorila melirik sebentar ke cermin, kemudian diam saja.

Kesimpulan peneliti, gorila lebih cerdas karena tahu bahwa pada refleksi cermin bukan Gorila lain (baca: musuh). Simpanse tak cukup cerdas. Kesimpulan selanjutnya bahwa tingkah Gorila mirip manusia, sial. Pada tingkat tertentu, kecerdasan Gorila mirip kecerdasan manusia. Kata Darwinis, kerabat dekat manusia, tuh. Mungkin Darwin tak pernah punya cermin di rumahnya.

Bercermin, melihat ke cermin dengan mata mengamati wajah diri, siapa tahu wajah kita mirip Gorila. Setidaknya itu ritual tiap pagi sebelum berangkat kerja, pergi sekolah atau menjemput pacar. Bercermin dulu sebelum menatap wajah kepala kantor, guru atau pacar. Kalau dunia kita seperti selingkup akuarium, maka tiap hal yg kita temui adalah cerminan bagi kita. Untuk belajar maupun untuk tahu seperti apa nilai kita di hadapan kepala kantor, guru atau pacar.

Sebenarnya, bercermin tak cuma lewat cermin yang digantung di dinding kamar. Bercermin di kaca spion, kaca pintu toko atau lantai keramik yang kinclong juga bisa (dan sering kita lakukan), liatin wajah diri. Kata psikolog, itu tanda bakat narsis tiap manusia. Seperti jika kita melihat poto berderet saat perpisahan TK, dipastikan kita akan mencari wajah kita terlebih dulu. Ah, teori psikolog aneh-aneh saja. Bercermin juga (bisa) untuk bersolek. Wah, teori itu ternyata benar. Tapi tidak jadi soal, bercermin banyak manfaatnya.

Jadi, mulai sekarang bercermin tiap pagi dengan baik. Amati wajah diri, pastikan tahu tiap lekuk wajah (termasuk jerawatnya). Dan, kalau di jalan ketemu seseorang berwajah mirip, itu jodohmu (?)


28 April 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...