Langsung ke konten utama

aLamaKna: Didik

Saat dua kota di Jepang dibom atom, Jepang mengaku kalah. Kaisar Jepang berkata, “Berapa jumlah guru yg kita punya?” 

Jepang maju karena percaya pendidikan akan meningkatkan pengetahuan dan nilai diri. Pendidikan adalah disiplin, pelajaran, pengajaran, sekolah, guru dll. Pengetahuan adalah ilmu. Garis penghubung antara pendidikan dan pengetahuan adalah sistem pendidikan. Mengelola hubungan guru dan murid, sekolah dan pelajaran, pengajaran dan materi ajar, dll.

Sistem menanyakan nilai murid. Murid terklasifikasi tingkat kelulusannya. Penilaian parsial tentukan pintar, cerdas, bodoh, biasa dst. Lantas ada klasifikasi lanjutan untuk berterima kerja yaitu terampil, terdidik, atau keduanya. 

Di Indonesia Sarjana adalah kaum terdidik, belum sepenuhnya kaum kreatif. Maka mereka mencari kerja pada angka rasio-terima yg bisa kita sebut tidak-rasional. Di AS, gaji supir truk lebih besar dibanding gaji peneliti pemula. Andi Hakim Nasution, dosen IPB mengiyakan, sebab di AS supir truk bisa baca rambu-rambu lalu lintas dengan baik. Tentu saja tidak ada supir truk ahli, yg ada supir truk berpengalaman. Tapi supir yg-berpengalaman dan yg-belum-berpengalaman sama-sama terdidik dengan pantas.

R.M. Soewardi Soeryaningrat tidak menentukan sistem pendidikan kini. Dia 'hanya' menentukan radikal(isme) mendidik. Ada tiga, salah satu dicomot jadi slogan kementerian. Meminjam kalimat iklan minuman, "Apapun sistemnya, gurunya harus sip". Biar kelak saat ada satu kelas mahasiswa jurusan matematika ditanya "Berapa hasil 1:0?", mereka tidak menjawab, "Tak terhingga", sebab itu jawaban salah.


1 Mei 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...