Langsung ke konten utama

aLamaKna: Masak

Bukan karena wolak walike jaman (dunia terbalik) jika sekarang kita bisa dapati orang memasak dengan latar belakang air terjun atau sawah. Memasak di alam bukan berarti berburu dan meramu, semua bumbu tersedia di mangkuk kecil yang entah datang dari mana. Mengulek bumbu memakai blender biar cepat. Kalaupun pakai ulekan, rasanya sang koki tak perlu sekuat tenaga fokus pada teknik mengulek, tapi pada gestur biar tetap terlihat kenes.

Kini acara masak-memasak jadi tren, sementara sang koki jadi selebriti. Di dunia pertelevisian, keberhasilan suatu acara adalah bagaimana pemirsa bisa tertarik pada banyak dan tiap aspek yang diset dan ditonjolkan dengan merk. Atau, kalaupun tanpa merk, biarkan pemirsa bergumam itu mahal dan berkelas. Acara masak berarti seputar masakan, jenis/cara penyajian, peralatan masak, dan tentu saja sang koki yang (pada akhirnya) jadi subjek utama kamera dengan segala atribut yang dikenakan.

Menonton acara memasak kini memang lebih memberi kesan tersendiri kepada sang koki. Tak apa, yang penting penonton menikmati tontonan. Soal hasil masak, silakan berimajinasi. Terlalu banyak inovasi di dalamnya, mulai dari baju sang koki yang tak lagi putih dan tertutup rapat sampai rambut panjang yang tergerai tanpa topi tinggi. Sang koki cowok bisa bertato dengan badan kekar. Sang koki cewek, harus terlihat cantik dan ramping (terlebih dahulu).

Sebagian besar penonton tidak (perlu) tahu bahwa lipatan di topi-koki yang tinggi adalah tingkatan pengalaman atau kelas seorang koki. Dan, baju putih koki adalah penanda kebersihan koki dalam mengolah dan menyajikan makanan. Kini, baju putih koki disulap jadi lebih modis. Makanan yang disajikan ala sajian restoran atau makanan hotel, bukan makanan rumah ala masakan ibu. Istilah koki atau juru masak diganti chef.

Dulu para ibulah yang biasa manteng di depan acara masak televisi untuk belajar. Sekarang lintas gender. Dulu cuma ada Bu Sisca yang rajin demonstrasi masak. Berwajah ibu-ibu pada umumnya, berbadan cukup gemuk dan bercelemek. Kini, penonton tak perlu bertanya sang koki sekolah atau belajar di mana tentang masak-memasak. Makanan yang jadi tak bisa diicip (dan tak perlu dipraktikkan juga). Tapi, (sekali lagi) tak jadi soal, acara berikutnya kita bisa disugesti kata 'maknyus' untuk tahu rasa dan enak makanan, meski jenis makanan yang ditampilkan berbeda, ditambahi sang presenter dengan gelagat provokatif soal rasa.

Sekarang benar-benar era kuliner, dimana masakan disajikan ala restoran (mahal), bukan masakan rumahan. Kuliner jadi tema wisata. Makan sambil jalan-jalan, atau jalan-jalan sambil makan. Ah, sama saja, yang utama ada komodifikasi. Makanan jadi atribut, kita tak lagi melahap sajian makanan tapi 'melahap' tiap bentuk makanan dalam berbagai rupa. Makanan pun jadi identitas kelas. Makanan jadi 'wajah' pemilik akun di jejaring sosial. Berkaca dari hal di atas, kita tahu bahwa media, yg utama televisi, (sekali lagi) menunjukkan tajinya.

Sebelum tulisan ini berlanjut terlalu serius, silakan nikmati masakan ibu di rumah selagi masih bisa. Tak perlu terlalu serius soal wisata kuliner, meski itu atas nama budaya kuliner, pengalaman seru, menggerakkan ekonomi atau jargon lain yang jadi gimmick.

Dan, selamat menonton hidangan makanan!



Samarinda, 21-22 Jan 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Masalah

"Tiap masalah ada jalan keluar, tapi jangan lewat jendela",  n asihat dengan candaan. Apa benar tiap masalah pasti ada jalan keluar? Kalau tidak lewat jendela, yang benar adalah lewat pintu. Yang lewat jendela bukan menyelesaikan masalah, tapi cari masalah. Jalan yang dianggap aman oleh maling adalah jendela. Jendela adalah jalan masuk ke masalah, bukan jalan keluar dari masalah. Jangan lewat jalan pintas, alih-alih menyelesaikan masalah, malah kena masalah. Bisa jadi. Ada banyak kemungkinan bagi jalan keluar dari permasalahan. Kalau pun berkelok dan mesti melewati banyak pintu, jalan keluar adalah tantangan. Bijak saja, untuk dihadapi dan ditemukan. Mirip-mirip labirin. Bisa jadi kita berputar di satu titik saja. Bikin pusing. Namanya juga labirin. Masalah mirip soal matematika, perlu analisis. Matematika itu logika. Kalau paham logika (dasar) ilmu hitung, soal serumit apa pun bisa terselesaikan. Soal 2+3x9^2/6x90x80x2x3Log100/0x500/3-2, tentu bisa dijawab jika memahami ...

aLamaKna: Fenomena

Apa yang menarik dari tontonan kurang dari 10 detik untuk jarak 100 meter? Silakan bagi angka 100 tersebut dengan 10 atau 9. Berapa jumlah kedipan mata saat melihat seorang atlet berlari dalam waktu tak lebih dari 10 detik? Faktanya, rata-rata manusia berkedip 15 kali setiap 4 detik. Jumlah kedipan ini akan meningkat ketika seseorang dalam suasana cemas, gelisah, dan lelah. Namun perlu ditambahkan fakta baru, penonton di stadium atau televisi akan bersedia tak berkedip menyaksikan dengan cermat momen kaki-kaki melesat. Usain Bolt punya cara sendiri untuk menarik perhatian. Kita menyebut dengan ungkapan luar biasa untuk sesuatu yang unik, bukan sekadar biasa terjadi. Ada banyak fakta terjadi, tapi tidak tiap fakta menjadi pembicaraan. Ada banyak kejadian menjadi berita, tapi tidak tiap berita adalah ketakjuban. Kesan terhadap sesuatu hal yang ganjil atau menonjol berbeda dengan kesan kepada hal yang wajar saja atau taraf 'lumayan sih, daripada lu manyun'. Sesuatu yang j...