Langsung ke konten utama

aLamaKna: Jalan

Jalan Raya ramai, kendaraan berkejaran memacu kecepatan. Di beberapa titik macet, bahkan semakin bertambah titik macet setiap tahun. Mudik, peristiwa tahunan yang seolah sudah menjadi tradisi bahkan melengkapi ibadah Ramadan. Bentangan jarak, kemacetan, terik matahari tak menyurutkan langkah untuk menjejakkan kepulangan. “Ga mudik ga afdol”, kata para pemudik. “Mudik, mulih disik”, kata seorang teman saat mau pulang ke kampung halaman di Purworejo. Teman yang satu ini pun menjadi salah satu pemudik yang merasakan macet, deru debu dan penuh peluh di bentangan Jalan Raya untuk kembali ke rumah dan bersilaturahmi dengan keluarga.

Praktis tradisi mudik, yang menjadi sumber berita media massa, disorot salah satunya pada peningkatan kepadatan kendaraan di bentangan jalan Anyer-Panarukan yang terentang lebih dari 1000 km. Dinamai Jalan Daendels (Jalan Raya Pos), mengacu pada nama seseorang yang membikin, Maarschalk en Gouverneur Generaal Mr. Herman Willem Daendels. Lidah kakek nenek kita dulu menyebut Maarschalk menjadi Mas Galak. Seorang Gubernur Jenderal Hindia Belanda terkenal tegas yang memerintahkan pembangunan jalan raya, meski lebih tepat disebut perbaikan dan peningkatan kapasitas jalan, yang konon merupakan satu-satunya jalan terpanjang dan terbaik di dunia pada masanya. Jalan itulah yang menjadi penghubung antar lokasi di Pulau Jawa, khususnya sepanjang pantai utara Pulau Jawa. Pada masa awal pembangunan pastilah tak terlintas oleh Mas Galak Daendels jalan itu akan menjadi penghubung kepulangan para pemudik ke rumah masing-masing. Daendels membikin jalan raya pos salah satu kepentingannya untuk mobilitas tentara guna mengantisipasi serangan Inggris saat itu.

Masih kuingat dan kutahu pertama kali jalan yang melintas beberapa meter di depan rumah bernamakan Jalan Raya Daendels dari guru Sekolah Dasar saat pelajaran sejarah. Dulu di sepanjang pinggir jalan itulah banyak pohon asem tempat aku dan teman-teman masa kecil bermain, memanjat pohon mencari buah asem, mengambil layangan tersangkut, mencari sarang burung Pipit. Suatu ketika karena pelebaran jalan maka ditebanglah deretan pohon asem tersebut. Sekarang tak lagi teduh, pohon asem dan cerita tentangnya menjadi sejarah, namun yang pasti itu tak ada dalam buku pelajaran sejarah Sekolah Dasar. Sekarang kita meneruskan saja adanya jalan raya Daendels, perbaikan rutin seperlunya, pelebaran selebar mungkin, memberi cabang jalan, tambal sulam aspal jalan dan seterusnya. Apa perlu kita berterimakasih kepada Herman Willem Daendels atas jalan pembangunan oleh dia?

Semakin lebar jalan seharusnya kemacetan tak semestinya ada lagi. Tapi peningkatan jumlah dan intensitas-laju kendaraan karena momentum mudik melampaui yang bisa ditampung lebar jalan. Laju kendaraan berdesing dan knalpot mengepulkan asap, dari jalur transportasi inilah (konon) ekonomi bergerak karena jadi penghubung antar sumber ekonomi, pasar dan mobilitas penduduk. Kenapa kita tak membikin jalur (transportasi) penghubung yang lebih masal? Misal kereta dengan relnya. Lebih sering pemerintah mewacanakan pembangunan jalan tol yang membelah Pulau Jawa. Ngomong-ngomong, Autobahn di Jerman tidak berbayar alias gratis dan rindang di sepanjang pinggirnya. Pembangunan dua jalur rel Kereta Api memang sedang dilaksanakan, pembangunan tol lintas Pantai Utara Pulau Jawa pun dikerjakan, namun atas nama percepatan pembangunan bukan penataan yang terencana, bukan sebagai antisipasi jangka panjang tapi karena keterdesakkan kondisi kini. Berharap jalan tol kita seperti Autobahn di Jerman tentu perlu waktu tak sebentar.

Jika ada pertanyaan kenapa cerita keramaian mudik yang disorot oleh media massa hanya sekitar jalan di Pulau Jawa? 57,4% angka statistik menunjukkan konsentrasi penduduk Indonesia di Pulau Jawa jadi jawaban. Arus mudik salah satunya dan sebagian besar dari Ibukota Negara menyebar menggurita, sentrifugal terpental, menyusur jalan menuju segala arah. Nyaris sebagian besar dari sekitar 9,6 juta penduduk Jakarta tumpah dari ceruk Megalopolitan (bukan Megapolitan!) mengalihkan kemacetan ke luar wilayah Ibukota. Klise, persoalan kepadatan penduduk. Pembangunan infrastruktur (tidak hanya jalan raya) yang terencana baik bisa jadi salah satu upaya penataan dan pengelolaan kependudukan. Penataan ruang wilayah kalaulah menilik Laporan Tahunan Bank Dunia 2009 dapat dilaksanakan berbasis pada 3D; Distance (jarak), Division (sekat), Density (kepadatan). Jika mengurangi jumlah penduduk secara drastis terlampau sulit terrealisasi dalam waktu dekat maka mengarahkan persebaran kepadatan, menata sekat yang jelas dan tegas dengan infrastruktur terpadu yang menghubungkan jarak antar titik-titik aglomerasi mewakili apa yang diharapkan dari tata-kelola 3D. Mengelola ruang wilayah tidaklah seperti bermain permainan Monopoli, perspektif ekonomi seharusnya tidak jadi pedoman yang terlampau dominan. Kembali ke pelajaran PPKn, ada Poleksosbudhankam. Yang sering terlewatkan, namun sebenarnya sangat penting, adalah Sosial dan Budaya. Fenomena mudik akan lebih pas jika ditilik dari kacamata Sosial dan Budaya.

Mudik adalah fenomena yang bagi sebagian besar pemudik selalu punya cerita dalam perjalanan panjang menempuh jarak, salah satunya tentu di Jalan Raya Daendels, yang berartikan juga perjalanan kepulangan meski sangat melelahkan. Sementara itu kemacetan di jalanan menyisakan pertanyaanku, “Apa kata Mas Galak Daendels kalaulah ia bangkit dari mati lantas melihat kemacetan di Jalan Raya yang dia bangun dan tahu bahwa setelah Lebaran kemungkinan tarif Tol akan naik?” Over dongkrak.


Goede reis.



Brebes, 2-3 September 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Presiden

Pembahasan tentang pemimpin negeri ini (kembali) ramai dibicarakan saat ini. Riuh rendah pemilihan Presiden sudah kita lalui dan kita ketahui hasilnya. Bahkan sebelum hari H pemilihan, keramaian siapa calon pemimpin negeri ini sudah heboh menjadi viral di dunia maya. Menjelang hari H pencoblosan perang urat syaraf, argumen, cuap antar pendukung lebih panas daripada konflik Mourinho dan Wenger maupun pendukung Real Madrid dan Barcelona. Dan kini, pelantikan telah mengesahkan siapa pemimpin negeri ini. Satu kata penuh hal, Presiden. Kata tersebut disebut berulang kali dalam obrolan di tempat kerja bahkan media sosial. Kata yang jadi tema renyah untuk jadi guyonan di Stand-Up Comedy. Saya jadi ingat pelajaran Biologi saat mendengar kata tersebut, barangkali Presiden sejenis dengan spesies, banyak macamnya. Faktanya ada presiden negara, presiden partai, presiden direktur sampai dengan presiden mahasiswa. Lantas apa yang membedakan di antara semuanya? Bisa dijawab dengan hal lingkup kekuasa...

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...