Langsung ke konten utama

aLamaKna: Kota

Di suatu kota di Indonesia, kehidupan berjalan sangat cepat. Rutinitas kegiatan masyarakatnya, yg didominasi dgn bekerja mencari uang, menciptakan kehidupan yg penuh tekanan. Kota di Indonesia secara fisik berbeda dgn di Eropa. Di sini kota terbentuk oleh campur tangan penjajah dulu yg membangun atas dasar pendudukan. Sementara di Eropa, kota berkembang atas dasar peningkatan kemampuan masyarakat dalam mengolah sumber daya. Di sini urbanisasi dan ketimpangan sosial mendominasi sebuah kota. Maka, jadilah kota yg penuh kebingungan, meski terus saja dinikmati masyarakatnya. Sekarang yg terpenting bagi warga kota adalah bukan hal kebingungan tersebut tapi bagaimana menjalani hidup. Mirip seperti orang tenggelam yg tak bisa berrenang, dia terus bergerak berkecipak di air untuk sampai ke permukaan daripada harus tenggelam. Sampai akhirnya dia bisa berrenang meski dgn gaya serampangan. 

Di suatu kota di Indonesia, kehidupan berjalan tidaklah apa adanya. Tren dan mesin menguasai. Pembangunan bukan membangunkan (per)adab(an) tapi menjadikan manusia sebagai objek. Ironisnya, manusia dalam perspektif kuasa selalu terlihat rendah dibanding gedung-gedung tinggi. Segenap infrastruktur yg dibangun justru menjadikan manusia di dalamnya kerdil. Jalanan penuh sesak orang yg bergerak dr banyak titik ke banyak titik yg lain. Di salah satu bukunya, Trinity menulis mengenai seorg teman dari Eropa yg mengeluh bahwa di Jakarta ada satu hal yg dirindukan, yaitu berjalan kaki. Hal yg sebenarnya sederhana. Di sini trotoar semakin menyempit, secara lahan maupun ruang di dalamnya. Trotoar terus tergeser oleh pelebaran jalan. Lantas pepohonan yg seharusnya memberi warna dan kesejukan pun ditebang. 

Di megalopolitan Jakarta, pertambahan kendaraan setiap tahun sekitar 10%-12%. Pelebaran dan penambahan jalan terus dilakukan, tapi tak lebih dari 1% per tahun. Jelas tak sebanding. Pejalan kaki mesti berebut dgn pedagang kaki lima, bahkan pengendara motor! Di kota Samarinda, Kalimantan Timur, bahkan cukup banyak ruas jalan tanpa disertai trotoar. Kegiatan manusia yg paling hakiki yakni melangkahkan kaki yg tiap manusia normal bisa melakukan harus menghadapi tantangan yg bisa menjadikan langkah terhenti dan selanjutnya turut menyandarkan pada mesin. Selain itu, trotoar pun beralih fungsi jadi lahan parkir. Itu beberapa sisi terkait fenomena kota yg berisikan masyarakat dan pemegang kebijakan yg tenggelam dalam kubangan (lumpur) kebingungan. 

Pada akhirnya, manusialah yg digerakkan mesin. Manusia terus (dipaksa) bergerak dari satu titik ke titik lain, tanpa bisa berhenti dgn nyaman. Setiap org seolah didesak desak dari belakang dan samping bahkan depan untuk terus bergerak. Yang justru terjadi adalah stagnasi, berdesak-desakkan saja. Manusia hilang arah, masyarakat hilang tujuan, pemimpin hilang kuasa dan selanjutnya pembangunan kota (atas nama perekonomian) turut hilang arti. Kemacetan dan kebingungan adalah yg utama terjadi. Yang gawat adalah macet pemikiran dan bingung bersikap maupun bertindak. Pusat ekonomi terus dibangun menggantikan ruang publik yg seharusnya jd sekadar tempat titik henti. Ruang publik seperti trotoar, lapangan olahraga dan taman kota diabaikan keberadaannya. Lahan luas untuk apartemen elite, hotel mewah atau bahkan lapangan golf. Trotoar tidak nyaman dilewati. Di sini mal sama seperti taman di Eropa, tempat ngadem. Yang membedakan adalah taman di sana teduh dgn pepohonan, sementara di sini kita mencara keteduhan dari pendingin udara (AC) di mal. Sama2 adem, namun interaksi antarmanusia dan kedekatan dgn alam sangat berbeda. Kalaupun ada taman di bangun, itu jadi kemewahan terbatas dimiliki mereka yg tinggal di perumahan elite. 

Berbicara ruang publik tak sebatas sebagai ruang yg ditempati masyarakat secara luas. Di sana ada pertemuan, tatap muka walau sepintas, ada sapaan dan ada pembauran yg bisa dikatakan egaliter. Mal adalah tempat etalase atribut interaksi manusia. Sementara itu, rasanya tak perlu berkaos mahal untuk duduk-duduk di suatu taman kota. Jalan dan taman kota, meski mungkin hanya titik kecil dari gurita kota, yg kotor dan tak terawat jadi wajah kota dan masyarakatnya menilai/menghargai diri sendiri. 

Jalan dan taman kota sama seperti jendela rumah. Sebagian kecil dari masyarakat yg tak bertanggungjawab memecahkan sedikit saja di antara banyak 'jendela rumah' tanpa segera ditindak akan memberi efek berkelanjutan. Terlebih jika pemegang kebijakan tak kuasa membenahi 'jendela rumah'. Lebih ironis, pemegang kebijakan turut berkontribusi memecahkan 'jendela rumah' tersebut dgn pembangunan yg tak terarah. Ini disebut "Teori Jendela Pecah" atau lebih dikenal efek bola salju (snowball effect). Barangkali karena di sini tak ada salju, maka banyak dari masyarakat dan terutama pemegang kebijakan tak memahaminya. Hal-hal remeh yg sebenarnya penting, namun justru jadi preseden buruk ke depan dalam perkembangan kota, malah diabaikan. Efek bola salju terus menggelinding dan menjadi semakin berkepanjangan. 



Samarinda, 17 Feb 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Presiden

Pembahasan tentang pemimpin negeri ini (kembali) ramai dibicarakan saat ini. Riuh rendah pemilihan Presiden sudah kita lalui dan kita ketahui hasilnya. Bahkan sebelum hari H pemilihan, keramaian siapa calon pemimpin negeri ini sudah heboh menjadi viral di dunia maya. Menjelang hari H pencoblosan perang urat syaraf, argumen, cuap antar pendukung lebih panas daripada konflik Mourinho dan Wenger maupun pendukung Real Madrid dan Barcelona. Dan kini, pelantikan telah mengesahkan siapa pemimpin negeri ini. Satu kata penuh hal, Presiden. Kata tersebut disebut berulang kali dalam obrolan di tempat kerja bahkan media sosial. Kata yang jadi tema renyah untuk jadi guyonan di Stand-Up Comedy. Saya jadi ingat pelajaran Biologi saat mendengar kata tersebut, barangkali Presiden sejenis dengan spesies, banyak macamnya. Faktanya ada presiden negara, presiden partai, presiden direktur sampai dengan presiden mahasiswa. Lantas apa yang membedakan di antara semuanya? Bisa dijawab dengan hal lingkup kekuasa...

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...