Langsung ke konten utama

aLamaKna: Asing

Di negeri tropis macam Indonesia salju cuma ada di puncak Jayawijaya. Tapi ada, kan? Meskipun sebagian besar orang Indonesia belum pernah merasakan salju langsung atau ke puncak Jayawijaya, kita ternyata punya kata 'salju' untuk menamai benda putih nan dingin itu. Mengherankan. Setidaknya jika ada pertanyaan dari orang Eropa, "Do your country have snow?" Kita bisa jawab, "Oh, salju. Of course". 

Orang asing, khususnya orang Eropa, keseringan tidak tahu benar negeri kita. Maka jangan heran kalau ada kesempatan ke luar negeri kita akan ditanyai hal remeh seperti pertanyaan di atas. Maka bilang saja "I live in Bali" yang jadi semacam password (kata kunci) untuk memperkenalkan diri dan menghentikan pertanyaan aneh-aneh tentang negeri Loh Jinawi ini. Kita tidak bisa bilang, "Halo, ke mana aja, you? Masak ga kenal Indonesia". Kerutan di dahi mereka akan menambahi kernyitan. 

Bali memang lebih dikenal di dunia internasional dibanding Indonesia. Ada suatu destinasi wisata etnik nun jauh dari Eropa atau Amerika bahkan Jepang dan Cina, yang masuk dalam pembicaraan kalangan internasional. Ini lebih mengherankan dibanding dengan kata 'salju' yang entah kenapa dan kapan bisa menyasar di perbendaharaan kata kita. 

Bagaimana mungkin ada negara Bali? Negara kita sangat jarang masuk majalah Time, sih. Bukan sebab tak bersalju, tapi karena ditanggapi secara 'dingin' oleh orang asing. "Apa sih yang menarik dari indonesya?", selain ada (di dalam) Bali tentunya. Kecuali masuk daftar indeks negara gagal atau koruptif. Kalau lah kita dikenal sebagai negeri kaya sumber daya alam, itu sebatas oleh mereka yang punya kepentingan mengeruknya. Rasanya dikenal hanya karena kaya SDA itu seperti cewek cantik yang cuma bisa memamerkan kemolekan tubuh dan tak lebih dari itu. 

Itu menggambarkan pentingnya pengenalan kepada dunia melalui ciri kekhasan. Encik Mahatir keukeuh bangun gedung Petronas agar nama Malaysia dikenal masyarakat internasional. Nama bukan sekadar nama, ia jadi pembeda asing atau keterasingan. Cuma Shakespeare yang mempertanyakan arti nama. Tapi, kalau kita terjebak di nama atau citra, sebenarnya kita seperti politikus saja. Karakter entah ke mana dan kenapa. Dilematis tapi harus jadi catatan. 

Hal yang asing tetaplah punya nama, atau setidaknya bisa kita namai. Berbanding dengan cerita di atas, Indonesia juga pernah (atau sudah) menjadi asing saat pertama kali Cornelis de Houtman mendarat di negeri kita. Ada negeri jauh Loh Jinawi di semenanjung malaya yang belum bernama. Pada 1850 James Richardson Logan seorang Skotlandia menamai negeri itu Indunesia. Horre, negeri kita resmi bernama. Ah, seolah-olah negeri kita baru ditemukan awal abad 19 saja dan asing dari dunia luar. Asing bagi orang barat yang memegang kekuasaan dunia secara politis. 

Sekarang, kita terlalu rajin berguru dengan sebatas mengirimkan para calon mahasiswa ke negara barat/luar negeri, seringkali memaksakan penilaian dari kacamata barat, cepat takjub dengan gedung-gedung tinggi atau kuno di Eropa. Yah, barangkali saja suatu saat kita punya universitas yang jadi tempat belajar orang-orang luar seperti Al Azhar atau seperti di Jepang, kita punya tim nasional sepakbola hebat. Atau setidaknya punya gedung-gedung heritage yang menggambarkan sejarah panjang bangsa dan dikenal luas karena kita merawat dan menjaganya bukan sebatas 'nemu' dari zaman baheula. Pengandaian memang menyenangkan. 

Kita bukan asing, tapi mengasingkan diri. Kapan kita bisa seperti Malaysia yang berani mencanangkan diri sebagai pusat produk makanan halal islam di dunia, punya mobil kebanggaan nasional? Atau seperti India yang punya Lembah Silikon sendiri? Atau seperti negara kecil Singapura yang siap jadi pusat perdagangan Asia Tenggara? Kita yang tak merasa asing di dunia yang asing atau cuma bisa takjub dengan dunia luar hingga perlu rajin-rajin ke luar negeri. Konon sisi positif rajin ke luar negeri, "Daripada jadi katak dalam tempurung, Bung", atau "Dunia itu luas". 

Ya sudahlah. 



Samarinda, 6 Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Masalah

"Tiap masalah ada jalan keluar, tapi jangan lewat jendela",  n asihat dengan candaan. Apa benar tiap masalah pasti ada jalan keluar? Kalau tidak lewat jendela, yang benar adalah lewat pintu. Yang lewat jendela bukan menyelesaikan masalah, tapi cari masalah. Jalan yang dianggap aman oleh maling adalah jendela. Jendela adalah jalan masuk ke masalah, bukan jalan keluar dari masalah. Jangan lewat jalan pintas, alih-alih menyelesaikan masalah, malah kena masalah. Bisa jadi. Ada banyak kemungkinan bagi jalan keluar dari permasalahan. Kalau pun berkelok dan mesti melewati banyak pintu, jalan keluar adalah tantangan. Bijak saja, untuk dihadapi dan ditemukan. Mirip-mirip labirin. Bisa jadi kita berputar di satu titik saja. Bikin pusing. Namanya juga labirin. Masalah mirip soal matematika, perlu analisis. Matematika itu logika. Kalau paham logika (dasar) ilmu hitung, soal serumit apa pun bisa terselesaikan. Soal 2+3x9^2/6x90x80x2x3Log100/0x500/3-2, tentu bisa dijawab jika memahami ...

aLamaKna: Fenomena

Apa yang menarik dari tontonan kurang dari 10 detik untuk jarak 100 meter? Silakan bagi angka 100 tersebut dengan 10 atau 9. Berapa jumlah kedipan mata saat melihat seorang atlet berlari dalam waktu tak lebih dari 10 detik? Faktanya, rata-rata manusia berkedip 15 kali setiap 4 detik. Jumlah kedipan ini akan meningkat ketika seseorang dalam suasana cemas, gelisah, dan lelah. Namun perlu ditambahkan fakta baru, penonton di stadium atau televisi akan bersedia tak berkedip menyaksikan dengan cermat momen kaki-kaki melesat. Usain Bolt punya cara sendiri untuk menarik perhatian. Kita menyebut dengan ungkapan luar biasa untuk sesuatu yang unik, bukan sekadar biasa terjadi. Ada banyak fakta terjadi, tapi tidak tiap fakta menjadi pembicaraan. Ada banyak kejadian menjadi berita, tapi tidak tiap berita adalah ketakjuban. Kesan terhadap sesuatu hal yang ganjil atau menonjol berbeda dengan kesan kepada hal yang wajar saja atau taraf 'lumayan sih, daripada lu manyun'. Sesuatu yang j...