Langsung ke konten utama

aLamaKna: Juara

Menemukan juara adalah tujuan perlombaan atau kompetisi. Yang paling baik dari yang terbaik lah yang pantas jadi juara. Kalaulah pernyataan itu dibalik, maka juara adalah semacam pembuktian bukan lagi asumsi. Asumsi sebatas pernyataan umum saja, sementara pembuktian berarti menyimpulkan.

Kalau seorang atlet sudah terbiasa latihan lari 1000 km per hari, harusnya dia bisa lari yang 'hanya' 100 meter saat perlombaan. Ada bumbu prediksi atau harapan di sana. Kompetisi selalu diawali dua hal tersebut. Yang terbaiklah jadi juara, padahal keberuntungan punya skenario tersendiri. Nyatanya ada sebutir pasir yang tiba-tiba terselip di sepatu pelari di atas yang menjadikan dia tak nyaman berlari dan akhirnya gagal jadi juara.

Ada juga faktor X, tak bisa didefinisikan. Jika kata 'tidak terdefinisi' terlalu berlebihan, maka cukup dikatakan bahwa sulit didefinisikan sampai kejadian itu benar-benar terjadi. Timnas Sepakbola Denmark secara mengejutkan jadi juara Piala Eropa 92, padahal sebelumnya mereka masuk putaran final sebatas pengganti Yugoslavia yang terkena sanksi tampil.

Entah itu karena kemampuan, teknik, kekuatan, mental, semangat dan bahkan termasuk keberuntungan pada akhirnya sama-sama faktor pembeda. Tapi dalam kompetisi keberuntungan dan faktor X lebih punya efek dramatik bagi semua orang. Bahkan memberi efek traumatik bagi yang dikalahkan.

Juara lahir dari pertarungan di lomba atau perseteruan selama kompetisi. Dari 'tarung' dan 'seteru' kita paham bahwa kompetisi atau lomba lebih dari sekadar menjadi juara. Ada bumbu elegan dan keras di sana. Bukankah laga, stadium, arena adalah istilah yang khas dari era gladiator. Olimpiade membawa slogan Citius, Altius, Fortius. Istilah dan slogan yang ada menjadikan lomba/kompetisi semarak sekaligus sengit.

Ada istilah juara tanpa tropi. Tapi bagaimana pun tropi tetap disematkan hanya kepada para juara, bukan para pecundang meski tampil lebih baik dari segi kemampuan atau teknik. Nama pemenang lah yang diukir di piala dan catatan sejarah terlepas dari keberuntungan atau faktor X.

Sejarah dan fakta lebih enak dibaca jika tim A menang melawan tim B, atau X lebih cepat dibanding Y. Superioritas lebih mudah dicatat dan diingat. Tak ada istilah juara dua apalagi juara harapan satu, dua dan seterusnya di kompetisi Piala Eropa. Orang Inggris menyematkan nama runner-up bagi yang menjadi pecundang di final, tak ada selisih kata 'juara' (meski) kedua. Tegas. Karena bagi mereka 'juara' sejatinya cuma ada satu dan satu-satunya. Berbeda dengan kompetisi di Indonesia, dari tingkat SD bahkan sampai senior, juara dideret berdasarkan peringkat. Terlalu 'baik' dan melenakan.

Kok di sini ada, ya, konsep juara harapan satu? Mungkin berarti, "Bukan juara satu yang berharap dan diharapkan jadi juara satu". Lho!


Samarinda, 28-29 Juni 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Presiden

Pembahasan tentang pemimpin negeri ini (kembali) ramai dibicarakan saat ini. Riuh rendah pemilihan Presiden sudah kita lalui dan kita ketahui hasilnya. Bahkan sebelum hari H pemilihan, keramaian siapa calon pemimpin negeri ini sudah heboh menjadi viral di dunia maya. Menjelang hari H pencoblosan perang urat syaraf, argumen, cuap antar pendukung lebih panas daripada konflik Mourinho dan Wenger maupun pendukung Real Madrid dan Barcelona. Dan kini, pelantikan telah mengesahkan siapa pemimpin negeri ini. Satu kata penuh hal, Presiden. Kata tersebut disebut berulang kali dalam obrolan di tempat kerja bahkan media sosial. Kata yang jadi tema renyah untuk jadi guyonan di Stand-Up Comedy. Saya jadi ingat pelajaran Biologi saat mendengar kata tersebut, barangkali Presiden sejenis dengan spesies, banyak macamnya. Faktanya ada presiden negara, presiden partai, presiden direktur sampai dengan presiden mahasiswa. Lantas apa yang membedakan di antara semuanya? Bisa dijawab dengan hal lingkup kekuasa...

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...