Langsung ke konten utama

aLamaKna: Drama

Drama, memang seru. Mendebarkan, ada penasaran. Paling gampang lihat drama lihat lah sinetron. Cinta Fitri entah sampai kapan. Terlepas dari monoton. Kita menduga-duga akhir cerita. Tiap cerita selalu berujung, senang atau sedih. Ada konflik, ikuti alurnya, itu inti dari drama. Kadang ada kejutan, semakin penasaran. Akhir drama seringkali emosional. 

Tapi drama tidak cuma ada di sinetron, sepakbola juga kerap menyajikan drama. Masa 2x45 menit atau sepanjang kompetisi. Skenario dilakonkan pemain. Tiap gol adalah momentum drama. Klimaksnya, siapa menang siapa juara. Kekalahan tak diharapkan, tapi bagian dari drama.

Coba tonton balapan MotoGP, mendebarkan pada tiap detik lap-lap akhir. Tikungan turut memacu adrenalin, kita terbawa emosi, bahkan ada suara teriak tertahan. Yang paling mendebarkan dari yang mendebarkan adalah dramatis. Semua pecinta sepakbola tentu masih ingat pertandingan final Liga Champions Bayern Muenchen vs MU atau AC Milan vs Liverpool.

Kalau tidak dramatis kita sebut datar, biasa saja. Gak seru. Untuk apa menonton pertandingan Timnas Brasil vs Timnas Indonesia. Dari Soccerbet sampai suporter kita, sudah bisa memprediksi. Meski ada variabel lain, nasionalisme. Ada lagi istilah final prematur, bukan final sesungguhnya. Bisa kita sebut 'ejakulasi dini'. Kita (terutama para cowok) tidak suka. Selanjutnya, tentu antiklimaks. 

Saya senyum manis lihat MU kalah dari Arsenal. Tidak ada sentimen pribadi. Ada drama, biar seru, biar bola terus bergulir. 

Hidup juga butuh drama, biar seru, biar jantung terus berdetak.


2 Mei 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...