Langsung ke konten utama

aLamaKna: Antri

Samarinda macet? Kebanyakan orang Indonesia tak tahu. Kemacetan Jakarta yang (terlalu) sering disorot televisi dan diidentikkan macet. Coba melihat kemacetan Jakarta dan Samarinda dari sudut pandang lain, mobil-mobil 'cuma' sedang antri di sepanjang jalan, menunggu melewati jalan. Tidak cuma bebek yang bisa berderet rapi, mobil juga bisa berderet bahkan sangat rapat. Tidak cuma bebek yang berbunyi kwek-kwek, mobil bisa berbunyi, tapi sedikit beda, menyalak. Kalau menganalogikan antri dan mengingatkan orang biar antri biasa dengan bebek. 'Bebek aja bisa antri, kenapa kita tidak?'.

Di Jakarta, mobil butut sampai dengan mobil mewah bisa terlihat bersisian. Jangan terlalu pragmatis, bukan disparitas-kelas kok, tapi varietas-kelas. Di Samarinda pun demikian, bahkan tak cuma karena macet mobil 'antri' berderet, saat mengisi BBM juga mereka berderet rapi tanpa komando. Kebijakan harga BBM naik diiring kelangkaan. Di Samarinda BBM langka berarti deretan kendaraan bermotor kian memanjang untuk antri BBM.

Syukurlah, antri adalah salah satu budaya (luhur). Antri menunjukkan tiap orang saling menghormati, masyarakat rapi, dan tata-tertib dipatuhi. Antri bensin, antri tiket bioskop, antri sembako, antri pembagian sedekahnya orang kaya, dll. Antri tak butuh konsensus, cuma butuh kenyamanan melihat punggung-kaos orang lain yg bertuliskan kata-kata lucu, tahan kena asap knalpot sambil melihat kemewahan mobilnya atau membaca plat-nomor cantik, cukup sabar berbaris jikalau diapit dua cewe cantik dan seksi bahenol dalam antrian, dst. 

Bahas tentang antri, Jepang jagonya. Orang Jepang kita kenal taat-aturan. Tapi sebenarnya, konon mereka sedemikian taat bukan karena dan pada peraturan, tapi karena budaya-malu dan pada nilai-diri. Di mana-mana, kalaulah mereka dalam kondisi mesti antri maka mereka antri rapi.

Antri bisa berdiri, bisa duduk, menunggu giliran. Kalaulah tidak (ada) antri, bisa jadi kita berebutan seperti anak-anak kecil berebutan saat dibagikan permen atau uang saat lebaran. Antri 'cuma' butuh kesadaran dan kesabaran. Saat antri tiket kereta jika memang tak sadar mengantri, bisa cari calo. Kalau tak sabar, bisa potong atau serobot antrian. 


2 Juni 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...