Langsung ke konten utama

aLamaKna: Gelar

Suatu hari, kantor tempat saya bekerja mendapat surat dari salah satu instansi pemerintah. Yang bertandatangan di surat adalah kepala kantornya dengan mencantumkan gelar yang cukup panjang. 

"Kok, di instansi ini tanda tangan tuk suratnya nyantumin gelarnya ya, Pak? Di kita kan tidak", kata saya sambil nunjuk kop surat tersebut. "Mungkin emang gitu peraturan persuratannya", kata Kepala Seksi HI.

Gelarnya panjang, meski sederet halaman kertas masih cukup. Ribet juga kalau namanya lebih panjang, gelarnya panjang juga. Bakal penuh sederet halaman kertas surat di pojok kanan bawah.

Coba bayangkan kalau ada nama, Badrun Bakhil Bahlul Barani Barantam dengan gelar, Profesor (Prof.), Doktor (Dr.), Raden (R.), Sarjana Hukum (S.H.), Sarjana Humaniora (S.Hum.), Master of Science (M.Sc.), dan Master of Economic Development (M.Ec.Dev).

Kenyataannya ada orang yg bergelar panjang seperti itu. Oh iya, itu belum yang bersangkutan menunaikan ibadah haji ke Makkah. Jika sudah, tambah satu gelar, Haji (H.).

Omong-omong tentang pencantuman gelar Haji, ada pada kebiasaan Melayu dulu, dan hingga kini.
Di Indonesia juga, karena kita (se)rumpun Melayu.

Dulu ada temen SMA bernama Hasan Shadilly, sering menuliskan nama depan dia dengan singkatan ‘H’. Saat ditanya alasannya, "Biar dikira Haji", jawab dia sambil tersenyum simpul.



19 April 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...