Langsung ke konten utama

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks.

Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal yang lebih mudah terjangkau pikiran mereka yang masih polos. Mereka mendapati dan mencerap pengetahuan secara sederhana dari lingkungan, yang dominan adalah dari sekolah, orang tua, pengamatan langsung tertentu bahkan sekarang bersumber televisi, hingga menentukan cita-cita mereka yang kerap berubah-ubah. Tanggapan atas pengetahuan tersebut biasanya serta merta. Dari awalnya ingin menjadi dokter karena terlihat baik dan penolong, setelah melihat seorang pilot gagah berseragam mereka lantas ingin menjadi pilot, kemudian berubah lagi ingin menjadi polisi hanya karena polisi membawa pistol.

Jika ada seorang dewasa, yang tentu saja ukuran pengetahuan dan kemampuan berbeda dibanding anak kecil, ditanya tentang cita-cita maka yang membedakan dengan jawaban anak kecil adalah pandangan atas cita-cita tersebut. Cita-cita serupa permen di mata anak kecil yang terlihat adalah warna menyenangkan dan manis di lidah. Namun sebenarnya cita-cita juga bisa berupa tindakan, menjadikan sebuah permen berwarna-warni dan untuk mengulum manisnya permen. Atau bisa juga cita-cita merupakan gagasan bahwa permen meski manis tidaklah cukup enak dibanding gula jawa. Itulah perumpamaan yang membedakan jawaban cita-cita anak kecil dan orang dewasa.

Maka sewajarnya kita kaget jika mendengar seorang anak kecil menjawab bercita-cita menjadi dokter karena ingin menolong orang lain atau ingin jadi presiden agar bisa memakmurkan rakyat Indonesia. Namun sepantasnya juga kaget jika mendengar seorang dewasa menjawab berharap menjadi akuntan tanpa menitikberatkan pada alasan tindakan yang bisa dilakukan atau menjadi seorang menteri hanya karena jabatan bergengsi tanpa menilik gagasan yang bisa diwujudkan. Jika ada seorang dewasa ditanya cita-cita/harapan ke depan lantas sebatas menjawab dengan profesi atau jabatan tanpa tindakan atau gagasan yang melatarbelakangi berarti bisa dikatakan dia seperti anak kecil yang menjawab singkat dan polos. Sementara itu penulis mempertanyakan orang tua yang masih berharap anaknya agar menjadi PNS, dokter, pilot, polisi dan profesi sejenisnya padahal sebenarnya masih banyak suatu karya (baca: bukan profesi/pekerjaan) yang bisa dilakukan seseorang (anak kecil) dan bisa diterjemahkan sebagai cita-cita atau harapan. Seniman, budayawan, dosen, penulis, fotografer juga merupakan cita-cita, bukan terpaku pada profesi atau jabatan. Kata Rene Suhardono, "your job is not your career". Kata saya, "your job is not your courier".

Jadi, apa cita-citamu?



Samarinda, 31 Januari 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...