Langsung ke konten utama

aLamaKna: Bohong

Tulisan ini dimulai dari kutipan kalimat di buku Le Petit Prince karya Antoine de Saint-Exupery, “Bila ingin memancing senyum, orang kadang-kadang berbohong sedikit”. Saat kecil kita dipetuahi oleh guru dan orang tua agar tidak berbohong, “Jangan bohong, Nak. Bohong itu dosa”. Entah seberapa banyak di antara kita yang bergidik mendengar kata dosa atau mungkin malah cuma mengangguk lugu mengiyakan. Namun yang pasti sebagian dari kita, setidaknya saat kecil, takut untuk berbohong. Berbarengan dengan nasihat nan bijak itu kita disuguhi cerita si Kancil yang nakal suka mencuri timun. Si Kancil nan lincah dan cerdik yang pintar berbohong. Kisah si Kancil jadi dongeng pengantar tidur.

Suatu ketika si Kancil, usai dari mencuri timun di ladang Pak Tani dengan cara membohongi Anjing penjaganya, ingin menyeberang sungai. Berhadapanlah ia dengan sekawanan buaya yang dikenal ganas dan lapar. Jangan heran bagaimana para buaya bisa berkawan hingga menjadi sekawanan, jangan tanyakan apakah mereka buaya darat atau buaya sungai, itu bukan inti tulisan ini. Para buaya ingin memakan daging kancil. Kita tahu cerita selanjutnya, si Kancil bisa melintas sungai setelah membohongi para Buaya dengan menjadikan mereka pijakan loncat ke tepi seberang. Kita tersenyum, ternyata kebohongan bisa menyelamatkan si Kancil. Hore, kita bersorak senang –lebih dari sekadar tersenyum– dan tertidur lelap.

Perihal bohong kita punya kisah lain yang diimpor dari negeri Italia. Alkisah ada Pinokio, boneka kayu dihidupkan oleh peri, yang dianggap anak oleh seorang tukang kayu tua bernama Gepetto. Seperti cerita kanak-kanak nan bijak lainnya, kisah Pinokio penuh hal menakjubkan dan tak masuk akal. Pinokio anak nakal diliputi keingintahuan hingga ia pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Gepetto. Dikisahkan jika dia berbohong maka hidung dia akan memanjang, jika kebohongan itu berlanjut kemudian hidung akan terus memanjang dan memanjang. Kita tahu cerita selanjutnya, Pinokio boneka kayu bernyawa akhirnya menjadi seorang anak bertubuh manusia seutuhnya karena dia tidak berbohong lagi. Gepetto senang keinginan dia punya anak terwujud. Kita tersenyum manis dan tertidur lelap.

Bukankah cerita dongeng hanya sebentuk ‘kebohongan kecil’ pengarang yang diindahkan lewat metafora dan nasihat?

Kini, kebohongan tak cuma jadi tema cerita pengantar tidur. Di kehidupan nyata kita bisa temukan sekumpulan orang-berserikat berbohong secara bersama-sama. Bersama-sama dalam hal ini adalah berjamaah dipimpin seorang pemimpin dengan para pengikut yang takzim. Mereka berharap kebohongan dapat menyelamatkan diri. Bohong untuk tidak berkata sejujur yang ada, sebenar yang terjadi serta berkelit. Kebohongan punya panggung tersendiri, disumpah tak menjadi rintangan untuk berbohong. Konon, sekali orang sudah bohong maka dia akan terus menutupi kebohongan itu dengan kebohongan lain. Kebohongan terkait dengan kepercayaan, jika kebohongan terjadi maka bisa dipastikan kepercayaan akan menghilang cepat atau lambat. Sepandai-pandainya tupai meloncat pasti akan jatuh. Tapi tupai yang hidup di dahan memang tak pandai berbohong. Tak cuma dimonopoli cerita para aktor-aktris di panggung sidang –yang ditakutkan adalah– kebohongan juga menyasar pada muatan berita. Seorang Jerman bernama Herman Goebbels pernah berkata, “Jika Anda mengatakan sebuah kebohongan dengan lantang dan terus mengulanginya, orang-orang biasanya akan percaya”. Kepercayaan adalah terhadap kenyataaan dan kenyataan tidaklah mesti tentang kejujuran. Mengatakan hal sebenarnya tanpa tendensi apa-apa sulit dilakukan. Semoga berita objektif tidak menjadi barang langka.

Saat televisi dinyalakan dan mempertontonkan cerita di panggung itu, seorang teman berkata, “Andai yang disidang itu Sule, maka dia tidak akan pesek lagi” (Ini mengingatkan kita pada cerita Pinokio yang berhidung panjang jika berbohong). Sayang sekali, Sule bukanlah boneka kayu dan tetaplah pesek karena dia selalu jujur kepada orang lain dan diri sendiri –apa adanya– dalam berseni. Dan, dia sepantasnya tak masuk ke ruang sidang hanya karena berseni. Membohongi orang lain mungkin sudah banyak cerita. Namun membohongi diri sendiri juga banyak. Bahkan sebenarnya bohong yang satu ini justru lebih sering menyulitkan (bahkan menyengsarakan) diri sendiri maupun orang lain, disadari atau tidak. Ini bisa jadi lahan introspeksi, seberapa sering kita membohongi diri sendiri?

Dari rentetan cerita di atas, meyakinkan bahwa benar kalimat dari Antoine de Saint-Exupery, “Bila ingin memancing senyum, orang kadang-kadang berbohong sedikit”. Sedikit kebohongan yang dipertontonkan selama ini memang menggelikan dan membuat kita tersenyum. Terlebih jika kebohongan itu banyak, barangkali kita bisa terbahak-bahak lepas. Tidak cuma kebohongan menggelikan di atas, kebohongan yang membuat senyum juga sering terlontar dari mulut pria kepada wanitanya (ehem!). Yang jadi pertanyaan, entah kenapa para wanita sering dibuat tersenyum oleh kebohongan itu? Itu mungkin satu-satunya jenis kebohongan yang benar dan diperkenankan. Asalkan tidak berlebihan (ehem!).

Andaikan mereka, aktor dan aktris di panggung sidang, yang pintar berbohong seperti Kancil, bisa menyalurkan bakat bohong seperti Hamsad Rangkuti. Pastilah kita punya sekian banyak kandidat peraih Nobel Sastra. Siapakah Hamsad Rangkuti? Beliau hanya seorang sederhana yang lebih kurang pernah berkata bahwa dirinya hanyalah seorang yang pandai bercerita dengan seni berbohong yang indah.

Kapan Indonesia punya sastrawan 'pandai seni berbohong‘ yang meraih Nobel Sastra?



Samarinda, 18 Februari 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Duka

Orang Cina percaya pada konsep Yin dan Yang. Ada siang, ada malam. Ada panas, ada dingin. Ada hidup, ada mati. Ada banyak hal di dunia ini dalam dua sifat yang berlawanan, berhubungan, dan saling melengkapi. Konsep Yin dan Yang berlaku umum, jadi semacam buku manual kita memahami banyak hal. Ada suka, ada duka. Hidup selalu menawarkan suka dan duka, sepaket seperti menu sambel ekstra pedas dengan es teh manis. Kenikmatan suka bisa dirasakan saat kita tahu apa arti duka, bukan karena dua kata tersebut berselisih satu huruf. Nikmatnya es teh manis tak terperi setelah makan sambal. Lini masa kita disisipi banyak kejadian. Bukan lini masa di selingkup beranda media sosial, tapi di kehidupan nyata. Kejadian itulah yang jamak disebut suka-duka. Suka menawarkan senang, duka memberikan sedih. Sesederhana itu. Kalau bisa memilih, kita pesan suka melulu, abaikan kesedihan. Tapi menjalani momen kehidupan tidak seperti memesan barang di lokapasar ( marketplace ) di internet. Menyingkap lapisa...

aLamaKna: Masalah

"Tiap masalah ada jalan keluar, tapi jangan lewat jendela",  n asihat dengan candaan. Apa benar tiap masalah pasti ada jalan keluar? Kalau tidak lewat jendela, yang benar adalah lewat pintu. Yang lewat jendela bukan menyelesaikan masalah, tapi cari masalah. Jalan yang dianggap aman oleh maling adalah jendela. Jendela adalah jalan masuk ke masalah, bukan jalan keluar dari masalah. Jangan lewat jalan pintas, alih-alih menyelesaikan masalah, malah kena masalah. Bisa jadi. Ada banyak kemungkinan bagi jalan keluar dari permasalahan. Kalau pun berkelok dan mesti melewati banyak pintu, jalan keluar adalah tantangan. Bijak saja, untuk dihadapi dan ditemukan. Mirip-mirip labirin. Bisa jadi kita berputar di satu titik saja. Bikin pusing. Namanya juga labirin. Masalah mirip soal matematika, perlu analisis. Matematika itu logika. Kalau paham logika (dasar) ilmu hitung, soal serumit apa pun bisa terselesaikan. Soal 2+3x9^2/6x90x80x2x3Log100/0x500/3-2, tentu bisa dijawab jika memahami ...

aLamaKna: Fenomena

Apa yang menarik dari tontonan kurang dari 10 detik untuk jarak 100 meter? Silakan bagi angka 100 tersebut dengan 10 atau 9. Berapa jumlah kedipan mata saat melihat seorang atlet berlari dalam waktu tak lebih dari 10 detik? Faktanya, rata-rata manusia berkedip 15 kali setiap 4 detik. Jumlah kedipan ini akan meningkat ketika seseorang dalam suasana cemas, gelisah, dan lelah. Namun perlu ditambahkan fakta baru, penonton di stadium atau televisi akan bersedia tak berkedip menyaksikan dengan cermat momen kaki-kaki melesat. Usain Bolt punya cara sendiri untuk menarik perhatian. Kita menyebut dengan ungkapan luar biasa untuk sesuatu yang unik, bukan sekadar biasa terjadi. Ada banyak fakta terjadi, tapi tidak tiap fakta menjadi pembicaraan. Ada banyak kejadian menjadi berita, tapi tidak tiap berita adalah ketakjuban. Kesan terhadap sesuatu hal yang ganjil atau menonjol berbeda dengan kesan kepada hal yang wajar saja atau taraf 'lumayan sih, daripada lu manyun'. Sesuatu yang j...