Langsung ke konten utama

aLamaKna: Motivator

Saya, entah kenapa, tiba-tiba ingat ucapan guru seni rupa SMP, "Kalian belajarlah di manapun dan dari manapun. Bahkan dari selembar kertas koran bekas bungkus tempe goreng". Beliau berkata demikian karena tahu muridnya malas belajar dan doyan tempe goreng di kantin. Kata-kata beliau adalah apa yang kita sebut sebagai motivasi. Motivasi adalah dorongan. Dan setelah dengar motivasi tersebut saya jadi rajin beli tempe goreng (meski pada akhirnya malah kekenyangan dan lupa dengan kertas koran pembungkus).

Ada motif dari setiap tindakan kita, semacam latar belakang atau alasan yang mendasari. Dari dalam diri, kita bisa menyebutnya keinginan, cita-cita, mimpi, harapan dst. Agama menyebutkan, amalan dinilai tergantung niat, semua orang tahu itu tapi sedikit orang mengerti benar. Memang seberapa penting keinginan atau cita-cita yang diniatkan? Niat itu password, meski tak diucapkan. Keinginan bisa dipadankan dengan ekspektasi. Bagi sebagian orang ekspektasi itu ekstase, kebahagiaan. Seringkali melampaui apa-yang-ada. Pepatah sudah mengantisipasi hal tersebut, gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Jadi kalaupun tidak tepat teraih, setidaknya masih tetap tinggi, nyangkut di pohon Jati. Yang sulit dari cita-cita adalah merealisasikannya, ada tantangan. Ada juga pepatah plesetan, gantungkan cita-citamu setinggi langit-langit. Biar cukup pakai tangga pinjaman tetangga sebelah untuk meraihnya.

Ada percakapan saya dengan seorang sahabat, "Banyak orang punya keinginan. Tapi", dia menekankan kata 'tapi' sambil menunggu reaksi saya, sementara saya terus diam. Dia melanjutkan "sedikit sekali yang bisa mewujudkan. Kau tahu kenapa?", dia diam menghisap rokoknya. "Karena hanya sedikit orang yang punya keinginan kuat", lanjut dia sambil menghembuskan asap rokok ke wajah saya. Saya terbatuk-batuk.

Orang sukses, dalam ukuran masing-masing objektivitas dan subjektivitas, jadi semacam fenomena tersendiri. Jarang-jarang. Sukses berarti berhasil merealisasikan keinginan, cita-cita, mimpi, tujuan dsb. Sejalan itu ada motivator, semacam orang sukses yang berbagi cerita sukses yang sukses mendapat perhatian. Atau dia yang berbagi pengalaman hidupnya untuk penghidupan diri dan berharap ada implikasi pada hidup orang lain. Pusing kan? Lebih gampang silakan setel Mario Teguh cuap-cuap di TV. 

Kini motivator pun jadi fenomena. Motivator menempatkan diri, atau lebih tepatnya dianggap oleh sebagian besar orang bisa memberikan dorongan. Penyemangat. Booster. Katalisator. Pemantik. Provokator versi lain 'tukang-pamer'. Orang 'sok-tahu' yang memang benar. Atau katakanlah semacam piranti lunak yang bisa ditambahkan dalam operating system, membantu pemrosesan data. Definisi pastinya silakan cari di Google. Ada lebih dari 100.000 situs mencantum kata motivator.

Ngomong-ngomong saya cocok jadi seorang motivator seperti Mario Teguh, cuma kurang botak dan masih belum bisa menyelesaikan banyak masalah (hidup). Payah.

Ya sudahlah, salam super, uhuk uhuk.


22 Mei 2011

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...