Langsung ke konten utama

aLamaKna: Brengsek

Brengsek hanya salah satu ungkapan kekesalan. Kata yang lahir dari spontanitas tanpa pikir panjang dan tedeng aling-aling. Semisal ada pengendara motor ngebut menyalip dan tiba-tiba membelok tanpa menyalakan lampu sein di hadapan kita saat berkendara, bisa saja dari kita seketika terlontar kata nan (tak) sakral itu. Kata brengsek memang terdengar lebih dari sekadar menggelitik. Ia pekak di telinga dan entah kenapa mesti pekik diucapkan. Ada emosi di dalamnya, menawarkan pemuasan cepat dan melepaskan suara renyah, meski tak merdu. Jelasnya, brengsek bukan ejakulasi dari situasi atau suasana yang nyaman dan lucu.

Spontanitas kata brengsek ada karena kita seringkali tak (sempat) berpikir panjang menyusun kata-kata saat dihadapkan pada situasi/seseorang yang, katakanlah, menyebalkan atau menjengkelkan. Terasa aneh jika kita mendapati situasi seperti diceritakan di awal lantas berkata, “Wahai pengguna motor yang berkendara tidak sesuai aturan lalu lintas, kiranya engkau sudi menyalakan lampu sein sebelum membelokkan kemudi”. Ough, terlalu lama. Kalaulah ada seseorang dalam situasi menjengkelkan seperti itu bisa berkata demikian syahdu, pastilah dia adalah kandidat Nobel Perdamaian dari Indonesia. Sebenarnya di jalan raya, masih banyak hal situasi/orang yang bisa dituju kata brengsek, semisal kemacetan, tilang oleh polisi (terlepas dari benar atau tidak prosedurnya), jalanan banjir, pengendara ugal-ugalan dan lain-lain. Di jalanan, sumbu emosi kita pendek. Emosi meletup seperti dinamit. Meski itu bukan jadi alasan tersorak kata-kata emosional.

Dari emosi lahirlah ekspresi. Brengsek hanya ‘makhluk’ ekspresif yang punya rupa, ia kasar tapi tak serta merta bisa disalahkan sebagai kata dan mesti dikeluarkan dari kosakata. Ia ada tanpa meniadakan maksud, diucapkan sebagai wakil dari sikap atau mosi (mengisyaratkan) emosi. Jika tepat dan pas diucapkan kata brengsek menengahi ekspresi dan emosi. Namun, perlu dicatat, ia bukan sebagai jalan tengah antara benar dan salah. Brengsek bukan semacam argumen objektif, bisa saja ia melulu ungkapan subjektif.

Akhir kata, daripada mengucapkan kata brengsek kepada seseorang atau terhadap situasi mengesalkan yang tidak mengesankan, cukup geleng-geleng kepala saja. Geleng-geleng kepala adalah sebentuk ekspresi juga, dan bagian dari mosi kekecewaan atau kekesalan. Berlawanan dengan mengangguk, geleng-geleng kepala adalah ekspresi tidak menyetujui/mengiyakan. Tak sepadan ungkapan brengsek, geleng-geleng kepala ada tanpa wacana seteru, tanpa perlu berseru. Mirip jargon iklan rokok di televisi, "Stay cool!".




Samarinda, 5 Maret 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...