Langsung ke konten utama

aLamaKna: Presiden

Pembahasan tentang pemimpin negeri ini (kembali) ramai dibicarakan saat ini. Riuh rendah pemilihan Presiden sudah kita lalui dan kita ketahui hasilnya. Bahkan sebelum hari H pemilihan, keramaian siapa calon pemimpin negeri ini sudah heboh menjadi viral di dunia maya. Menjelang hari H pencoblosan perang urat syaraf, argumen, cuap antar pendukung lebih panas daripada konflik Mourinho dan Wenger maupun pendukung Real Madrid dan Barcelona. Dan kini, pelantikan telah mengesahkan siapa pemimpin negeri ini.

Satu kata penuh hal, Presiden. Kata tersebut disebut berulang kali dalam obrolan di tempat kerja bahkan media sosial. Kata yang jadi tema renyah untuk jadi guyonan di Stand-Up Comedy. Saya jadi ingat pelajaran Biologi saat mendengar kata tersebut, barangkali Presiden sejenis dengan spesies, banyak macamnya. Faktanya ada presiden negara, presiden partai, presiden direktur sampai dengan presiden mahasiswa. Lantas apa yang membedakan di antara semuanya? Bisa dijawab dengan hal lingkup kekuasaannya, bidang kerjanya, cara pemilihan, acara pelantikan atau cukup dengan jawaban singkat, gengsinya. Yang sama adalah tentang adanya kekuasaan. Meski masing-masing lingkup kekuasaannya berbeda.

Debat hebat digelar, ada penyampaian visi dan misi serta aksi. Kampanye diadakan untuk pengenalan masing-masing calon presiden. Di negeri seribu satu masalah ini jadi Presiden negara tetap saja diperebutkan melebihi Indonesian Idol. Meski yang pasti sang presiden kelak menambah kantung-mata selama dia menjabat. Meski yang pasti jam santai dia akan berkurang. Di Indonesia yang jadi presiden harus bisa menyelesaikan problem ‘kecil’ semisal kemacetan jalan sampai problem pelik korupsi. Tujuannya memenuhi harapan tiap kepala penduduk negeri yang (belajar) berdemokrasi ini. Demokrasi lekat dengan demonstrasi. Kedua kata tersebut senada tapi salah satunya bisa jadi fals atau sumbang.

“Siap-siap didemonstrasi sajalah, Pak!” kata seseorang nun jauh di sana. Ada cela sedikit bersiaplah dikritik. Kritik dan kripik sama-sama renyah. Itulah sebab kritik terdengar kriuk. Tidak ada toleransi untuk kesalahan kecil, wahai Pak Presiden. Semua mata memperhatikan terarah ke sang Presiden, semua (merasa) berhak mengkritik. Demokrasi adalah kebersamaan. Mengkritik tapi adillah, tidak ada manusia sempurna di dunia ini. Presiden juga adalah bagian dari Famili Homonidae, Kingdom Animalia dalam pelajaran Biologi. Jika mencari kesempurnaan, mungkin hanya nabi yang lebih pantas duduk di kursi panas Istana Negara. Tapi, nabi yang derajatnya lebih baik dari kebanyakan orang tetap saja ada yang tak suka. Pandangan positifnya, bukan kritik, mungkin semua orang hanya coba mengingatkan saja. Barangkali saking banyak kerjaan, presiden lupa mana prioritas, mana yang terlewatkan. Mengingatkan bahwa jabatan presiden adalah amanah sekian ratus juta penduduk Republik Indonesia.

Bagi yang masih mahasiswa jangan demo terlebih dulu ya! Untuk sementara bisa belajar memperebutkan jadi Presiden Mahasiswa alias presma sebelum jadi Presiden Negara. Yang membedakan antara kedua jabatan presiden tersebut salah satunya adalah hembusan isunya. Tentang pemilihan presma hanya sebatas obrolan di kampus dan kantin kampus atau paling banter dibahas di koran kampus. Pemilihan presiden sebuah negara heboh di berbagai media massa dalam dan luar negeri, cetak dan elektronik, bahkan obrolan di warung kopi dan obrolan tukang becak. Melebihi selebriti papan atas. Kata presiden ada yang memelesetkan menjadi pesinden. Mungkin karena sama-sama dilihat banyak mata pada gerak-geriknya. Tapi, gerak-gerik pelantikan presiden lebih heboh dilihat jutaan mata dan tentu saja wah.


Samarinda, 20 Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...