Saya pernah menuliskan pandangan positif tentang kemacetan di jalan. Bahwa macet adalah sekian banyak mobil hanya sedang antri dan seolah etalase mobil berbagai jenis dan merek. Pandangan lain saya tentang kemacetan adalah pembangunan terlihat jelas. Jalan penggerak roda ekonomi, pengerek kehidupan, dan penera kesibukan. Di Indonesia pedagang asongan pun bisa masuk jalan tol. Jadilah indikator kemacetan parah adalah adanya pedagang asongan (bukan adanya Si Komo lewat, ya!). Soal profit dan benefit adanya tol biar para ekonom menghitungnya, termasuk profit tol bagi pedagang asongan dan benefit tol bagi petani miskin atau orang kelaparan di desa ujung Pulau Jawa.
Jalan tol dibangun disertai niat sebagai solusi kemacetan. Jauh panggang dari api, jalan tol bertambah, mobil melesat kuantitasnya. Tol adalah solusi sementara atau jangka pendek, solusi reaktif atas tuntutan perhubungan yang lancar. Kalaulah dalam tol ternyata kemacetan lebih parah tinimbang jalan biasa, istilah jalan bebas hambatan tidaklah pantas lagi. Apa daya pengguna tak bisa dan tak terbiasa protes. Para pebisnis tajir melihat peluang, membuat layanan helikopter. Tapi di Brasil (Sao Paulo) sana, yang punya penyakit kemacetan sama, jalur udara sudah penuh juga karena lalu lalang helikopter.
Tol pertama di Indonesia terbangun tahun 1978. Euforianya dulu orang bisa bersantai di pinggir tol menikmati suasana jalan bebas hambatan. Kini hal itu jika dilakukan bisa disemprit petugas tol. Tol-tol terus terbangun dan terkoneksi. Tapi kemacetan tetap saja terjadi bahkan lebih parah. Di Ibukota hitungan triliun per tahun tidak efisien atas nama kemacetan. Kita berkiblat ke Uda Sam (US) sana, bukan Jepang, yang tidak terlalu fokus ke tranportasi massal. Kereta baru dibenahi sejak awal 2000an. Ada teori bahwa menilai kemajuan suatu negara dilihat dari tingkah pengguna jalan saat kemacetan terjadi.
Berkaca dari Jepang dan Belanda, orang sana cenderung lebih memilih berjalan kaki atau bersepeda daripada naik mobil. Sebab iklim di sana dingin (setidaknya tak sepanas di Indonesia) untuk sekadar berjalan kaki atau bersepeda. Di sini kita malas berjalan kaki atau bersepeda karena kita di Khatulistiwa, panas. Saking malasnya kita, ke masjid sepelemparan batu kita pun berkendara motor. Ada baiknya pembenahan transportasi dimulai dari trotoar/jalanan yang hijau banyak pepohonan dan ramah pejalan kaki/pesepeda. Atau pembenahan jalur sepeda dan insentif untuk pesepeda.
Saat kemacetan memuncak, melihat aplikasi penanda-jalan tampak semua ruas memerah. Ruas itu saling terhubung, seperti syaraf di otak kita. Persediaan kesabaran kita tak cukup untuk menghadapi waktu dan himpitan kemacetan dalam tol. Jika sabar adalah sebagian dari iman, maka kemacetan adalah sebagian dari iman juga. Ujian kesabaran di tengah himpitan kendaraan.
Di tengah kemacetan yang megetengahkan kepadatan adalah ruang kita melarungkan pikiran saat raga terkurung. Pilihannya tercenung atau merenung, kecuali kau kebelet pipis. Tak akan ingat iman jika sudah menahan pipis. Menahan pipis di tengah kemacetan lebih membuatmu gelisah daripada menahan rindu ketemu pacar atau istri. Ini harus masuk parameter hitungan kerugian akibat kemacetan kronis!
Bekasi, 9-11 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar