Senyum menggerakkan 11 sampai 17 otot di wajah. Sedangkan cemberut menggerakkan lebih dari 30 otot. Karena itu disarankan senyum tinimbang cemberut. Otot cepat kendur jika terlampau sering cemberut. Cemberut bikin cepat tua, kata banyak orang. Tapi, jika ukurannya gerakan otot, tertawa pastilah lebih banyak menggerakkan otot dan seharusnya lebih cepat mengendurkan otot. Hanya saja tertawa bisa memacu kehadiran hormon dan memberi efek relaksasi. Maka, tertawa lebih disarankan daripada sekadar senyum.
Di luar sana ada terapi tertawa, bagi mereka yang terlampau jenuh bahkan kehilangan selera humor karena rutinitas. Rutinitas memang kejam, dia membuatmu bosan dan jadi serba-serius. Bahkan pelawak yang rutin menampilkan humor pun kewalahan dan tertekan dengan kesibukan yang memaksa mereka harus tetap lucu di tiap saat. Tertawa menandai kebahagiaanmu, jeda di tengah kesibukanmu. Hal yang menggelikan bisa memicumu untuk tersenyum. Humor nan lucu dapat membuatmu tertawa. Lepas atau tidaknya tergantung suasana hati.
Slapstick bagi sebagian orang tidak lucu, itu konyol kata mereka. Mereka yang tidak sreg dengan slapstick adalah pendukung humor cerdas. Tapi Raditya Dika, seorang pelawak-tunggal (stand-up comedy), bilang tak ada humor cerdas, yang ada hanya humor yang pas dari penyampai materi humor ke audiens. Sebagian yang lain tetap menjadikan slapstick jadi alasan untuk terbahak-bahak. Omong-omong, di kita slapstick diterjemahkan dagelan. Contoh nyata dagelan adalah Srimulat jaman dulu. Dan kenyataannya, jika kita diminta menampilkan guyonan, slapstick sekalipun, ternyata tak mudah. Bisa jadi perlu Humour Quotient (HQ) selain Intelligence Quotient (IQ).
Sepulang kerja, kita bisa menyalakan tivi menonton acara lawak atau baca buku kumpulan humor. Sekadar menghibur diri atau cari penyegaran. Kesibukan kerja bagi para pegawai/buruh atau belajar bagi mahasiswa/pelajar bisa saja membuat kening berkerut. Namun sebenarnya di tiap interaksi dengan rekan atau teman, kita bisa saling melempar candaan agar obrolan tak terlampau serius. Kita tertawa lepas jika candaan itu berterima. Jika tidak nyambung, mungkin candaannya yang tak tepat sasaran, tak mengena di hati, atau suasana tak pas. Atau bisa jadi memang guyonannya garing.
Hal yang lucu memang lebih mudah diterima oleh kita semua. Para penceramah agama kadang menyisipkan humor dalam ceramahnya. Orang yang punya kemampuan tuk melucu pastilah orang yang easy-going dan hal nan lucu pastilah easy-listening. Teman sekolah, guru, atau rekan kerja yang paling gampang kita ingat adalah mereka yang jago ngocol. Memang sedemikian dekat tertawa dan ingatan, sebab tertawa adalah penanda kebahagiaan. Tertawalah sebelum tertawa dilarang, kalimat penutup nan bijak di film Warkop DKI.
Lepas dari itu semua, justru paling penting adalah menertawakan diri sendiri. Sebab itu adalah bagian dari berdamai dengan masa lalu diri atau memaklumi kekonyolan diri. Bahkan itu merupakan sikap positif. “Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain," kata Gus Dur dengan nada serius di buku 'Mati Ketawa ala Rusia'. Di lain waktu Gus Dur bilang, “Orang Hindu merasa paling dekat dengan Tuhan karena mereka memanggilnya ‘Om’. Orang Kristen apalagi, mereka memanggil Tuhan dengan sebutan ‘Bapak’. Orang Islam? Boro-boro dekat, manggil Tuhan aja pakai Toa.” Guyonan itu juga bagian dari kita menertawakan diri sendiri.
Bekasi, 23-24 Maret 2018
Di luar sana ada terapi tertawa, bagi mereka yang terlampau jenuh bahkan kehilangan selera humor karena rutinitas. Rutinitas memang kejam, dia membuatmu bosan dan jadi serba-serius. Bahkan pelawak yang rutin menampilkan humor pun kewalahan dan tertekan dengan kesibukan yang memaksa mereka harus tetap lucu di tiap saat. Tertawa menandai kebahagiaanmu, jeda di tengah kesibukanmu. Hal yang menggelikan bisa memicumu untuk tersenyum. Humor nan lucu dapat membuatmu tertawa. Lepas atau tidaknya tergantung suasana hati.
Slapstick bagi sebagian orang tidak lucu, itu konyol kata mereka. Mereka yang tidak sreg dengan slapstick adalah pendukung humor cerdas. Tapi Raditya Dika, seorang pelawak-tunggal (stand-up comedy), bilang tak ada humor cerdas, yang ada hanya humor yang pas dari penyampai materi humor ke audiens. Sebagian yang lain tetap menjadikan slapstick jadi alasan untuk terbahak-bahak. Omong-omong, di kita slapstick diterjemahkan dagelan. Contoh nyata dagelan adalah Srimulat jaman dulu. Dan kenyataannya, jika kita diminta menampilkan guyonan, slapstick sekalipun, ternyata tak mudah. Bisa jadi perlu Humour Quotient (HQ) selain Intelligence Quotient (IQ).
Sepulang kerja, kita bisa menyalakan tivi menonton acara lawak atau baca buku kumpulan humor. Sekadar menghibur diri atau cari penyegaran. Kesibukan kerja bagi para pegawai/buruh atau belajar bagi mahasiswa/pelajar bisa saja membuat kening berkerut. Namun sebenarnya di tiap interaksi dengan rekan atau teman, kita bisa saling melempar candaan agar obrolan tak terlampau serius. Kita tertawa lepas jika candaan itu berterima. Jika tidak nyambung, mungkin candaannya yang tak tepat sasaran, tak mengena di hati, atau suasana tak pas. Atau bisa jadi memang guyonannya garing.
Hal yang lucu memang lebih mudah diterima oleh kita semua. Para penceramah agama kadang menyisipkan humor dalam ceramahnya. Orang yang punya kemampuan tuk melucu pastilah orang yang easy-going dan hal nan lucu pastilah easy-listening. Teman sekolah, guru, atau rekan kerja yang paling gampang kita ingat adalah mereka yang jago ngocol. Memang sedemikian dekat tertawa dan ingatan, sebab tertawa adalah penanda kebahagiaan. Tertawalah sebelum tertawa dilarang, kalimat penutup nan bijak di film Warkop DKI.
Lepas dari itu semua, justru paling penting adalah menertawakan diri sendiri. Sebab itu adalah bagian dari berdamai dengan masa lalu diri atau memaklumi kekonyolan diri. Bahkan itu merupakan sikap positif. “Kemampuan untuk menertawakan diri sendiri adalah petunjuk adanya keseimbangan antara tuntutan kebutuhan dan rasa hati di satu pihak, dan kesadaran akan keterbatasan diri di pihak lain," kata Gus Dur dengan nada serius di buku 'Mati Ketawa ala Rusia'. Di lain waktu Gus Dur bilang, “Orang Hindu merasa paling dekat dengan Tuhan karena mereka memanggilnya ‘Om’. Orang Kristen apalagi, mereka memanggil Tuhan dengan sebutan ‘Bapak’. Orang Islam? Boro-boro dekat, manggil Tuhan aja pakai Toa.” Guyonan itu juga bagian dari kita menertawakan diri sendiri.
Bekasi, 23-24 Maret 2018
Komentar
Posting Komentar