Bisa dibilang ilmu yang paling 'mudah' adalah Matematika atau ilmu eksakta sejenis. Serumit apapun hitungan matematika, hasil dari perhitungannya pasti semua orang sepakat karena sifatnya yang eksak (pasti). Berbeda dengan gugus ilmu sosial atau humaniora, tiap ada kasus hampir bisa dipastikan pembahasannya lebih panjang dan hasilnya tidak semua orang sepakat sepenuhnya. Coba tanyakan pada para mahasiswa di kelas Hukum yang bisa berdebat panjang untuk satu peraturan perundangan. Jangankan satu peraturan, satu pasal pun pembahasannya bisa panjang kali lebar kali tinggi. Intinya, tiap peraturan tidaklah mungkin memuaskan semua pihak.
Pelajaran matematika kita dapat sejak Sekolah Dasar. Orang tua kita mengenalnya sebagai pelajaran Berhitung, meski sebenarnya matematika tak sebatas berhitung. Sesungguhnya belajar matematika lebih ringan, tak ada buku tebal berisi banyak kalimat. Kalaupun (agak) tebal, pastilah lebih banyak soal-soalnya, dengan ruang kosong di sebelah soal untuk dicoret-coret. Kita tahu tiap pelajaran di sekolah ada ujiannya. Ujian sekolah memang tak seruwet ujian kehidupan. Namun, ada yang menganggap ujian matematika seperti ujian kehidupan, bikin pusing. Sebenarnya semua pelajaran sekolah adalah pelajaran sejarah. Kita belajar persamaan matematika, rumus gravitasi ala Newton, teori Archimides, dan hukum Gossen, semuanya sejarah yang dituliskan sang penemunya.
Mengacu ke kalimat pembuka tulisan ini, tiap soal matematika (setidaknya tingkat sekolah dasar sampai menengah), pastilah jawabannya 'cuma' ada satu. Siswa bisa lebih nyaman mencontek ke teman sebelah karena, toh, jawabannya tipikal. Jadi, guru tak bisa menganggap siswa mencontek jika hanya mendasarkan pada jawaban yang sama antara siswa satu dengan yang lain. Meskipun pada kenyataannya ada jawaban dengan rumus cepat ala bimbel, ada jawaban mengurai panjang ala guru, atau jawaban ala math trick (di Youtube banyak). Sedangkan di kelas Sosiologi, dosen bisa berkata, "Dodo, kamu nyontek jawabannya Bowo, titik komanya sama persis".
Kesimpulannya, belajar matematika 'hanya' tentang logika, bukan menyangkut tiga cara panjang, ringkas atau pakai trik. Salah kaprah kalau belajar matematika dengan hapalan. Melancarkan hitungan matematika berarti memperbanyak latihan soal. Namun jangan salah, belajar ilmu sosial/humaniora juga menyinggung logika. Ada logika hukum, ada logika filsafat. Dalam berbahasa pun ada logika. Logika seperti pedang pikiran kita, tinggal bagaimana menggunakannya dan apakah tumpul atau tajam. Berlogika berarti menganalisis masalah dengan rasional agar bisa dipertanggungjawabkan dengan pantas.
Stasiun Gambir Jakarta, 29 November 2015
Komentar
Posting Komentar