Ada pilihan berlibur menuju pantai atau mengarah ke gunung. Tapi, rasanya cuma ada satu pilihan saat (menjelang) libur panjang lebaran yakni mudik. Pulang ke rumah di kampung halaman jadi keharusan, bertemu orang tua, bersua keluarga, dan bercengkrama dengan sahabat masa kecil. Perjalanannya panjang, lama, dan sangat melelahkan. Mudik semacam ritual tahunan, dari semula rutinitas warga Nusantara. Raya bermakna besar, juga berarti selebrasi atau merayakan. Kata besar dan merayakan inilah yang diterjemahkan dengan kebersamaan. Jutaan manusia memobilisasi diri, terpencar, dan tergerak ke kampung halaman masing-masing.
Ada pilihan naik mobil, kereta api, kapal laut, pesawat terbang, sepeda motor bahkan bajaj!! Saat teknologi komunikasi memampatkan dunia, media sosial menjadikan dunia kampung global. Tapi, kepulangan mengantarkan lebih dari sekadar fisik. Tatap muka adalah keharusan, bisa memunculkan keharuan. Di perjalanan yang lama ini ada tulisan di belakang motor "balik ketemu si Mbok", menggelikan sekaligus sentimentil. Kalaupun kepulangan bisa dihargai, maka itu lebih mahal daripada harga tiket pesawat atau kereta yang melambung tinggi, dan lebih melegakan daripada saat berada di pintu keluar tol Brebes (Brexit). Sekian jam mengendali kendaraan dibahanbakari harapan bersilaturahmi, pegal tidak mengapa.
Tidak ada pilihan saat mudik selain bertemu pertanyaan "kapan lulus?" yang memusingkan bagi para mahasiswa (abadi), "kapan nikah?" yang menakutkan bagi para jomblo. Selain itu pertanyaan "kapan punya anak" yang menyebalkan bagi para pasutri baru, dan "kapan anaknya punya adik?" dan seterusnya. Pertanyaan tak berujung. Saat ulang tahun menyadarkan kau tambah usia, maka setiap mudik membuatmu mengerti kau tambah tua. Tua karena kau mendapati keponakanmu semakin gede, orangtuamu semakin keriput. Kau bisa pulang ke rumah kapanpun, tapi mudik punya suasana sendiri. Pulang edisi mudik sudah menjadi tradisi. "Punya duit atau gak punya, yang penting mudik", tulisan lain yang terpampang di belakang motor. Bukan sebab keterpaksaan tapi karena memaksakan diri. Sisi lainnya mudik diwartakan dengan kemacetan hebat –yang dari tahun ke tahun tidak terurai– namun tetap saja tak menyurutkan langkah pemudik.
Tidak lain dan tidak bukan mudik merangkum segenap perjalanan dan menggenapi kepulangan. Mudik bukan soal tempat tujuan, tapi tentang momentum. Jika di pantai kau bisa bersantai, di gunung kau akan merenung, namun mudik tetaplah terasyik. Selamat lebaran!
Wonogiri, 6 Juli 2016
Komentar
Posting Komentar