Langsung ke konten utama

aLamaKna: Sisi

"I love it when people ask me to take photos of them." Barangkali kalimat tersebut terdengar biasa saja jika diucapkan oleh saya. Tapi, jika pernyataan tersebut dilontarkan oleh seorang miliarder muda pemilik jejaring sosial Facebook maka lain cerita. Terdengar aneh, terkesan menggelitik sekaligus naif. Kebanyakan orang punya kesan biasa saja jika dimintai bantuan memfoto oleh orang lain.

Mark Zuckerberg, seseorang yang tidak pernah dapat gelar sarjana karena drop-out dari universitasnya, mengucapkannya saat berkunjung ke Indonesia, salah satu negara dengan pengguna Facebook terbesar di dunia. Jumlah 69 juta akun FB sumbangan penduduk Indonesia mungkin sebagian besar penggunanya tak pernah tahu siapa pengembang Facebok. Kalaupun sebagian mengetahui sosok dan wajahnya dari internet mungkin tak akan familiar jika berpapasan langsung. Andaikan melihat langsung dan mengenalinya pasti akan terkaget bahwa seorang Mark jadi turis biasa yang melancong ke Borobudur.

Dia jadi pelancong, datang ke Borobudur dengan label turis asing pada umumnya. Berkaos dan bercelana pendek. Tidak formal, tidak bergaya. Dikenai karcis masuk sama seperti pengunjung lain. Tak dapat ucapan terima kasih secara khusus atas medsos temuannya dari pengunjung yang mengenalinya. Dan, mungkin momen dia memfoto tersebut jadi salah satu momen yang dia anggap istimewa yang diceritakan di (oto)biografinya kelak.

Sisi kehidupan seorang tokoh bisa diketahui dari kisah tentangnya. Paling mudah kita bisa tahu dari biografinya. Ada sekian banyak cerita menarik dan teladan. Sekaligus kejadian yang menjadi gambaran sosok yang dibiografikan. Kisah yang menggelitik dari seorang tokoh mungkin saja adalah kisah biasa saja. Bukan kisah wah dimana Beckham kaya raya dengan sekian puluh mobil supernya. Tapi, justru kisah 'tragedi sepatu terbang' yang melukai pelipis Beckham dan latihan dia yang tiap hari berlari lebih dari 10 km. Atau, kisah kegagalan cinta seorang Einstein, bukan jabaran rumus teori relativitas. Dan, kisah Soekarno yang makan sate di dekat selokan setelah dia dilantik jadi presiden.

Biografi menarik adalah tentang bagaimana sosok tersebut 'menjadi demikian' bukan 'apa yang dimiliki'. Atau, sisi lain yang apa adanya tanpa bumbu dramatis tapi membuat pembaca sadar dia adalah orang biasa. Bahkan Spiderman bisa menangis ditinggal sang Paman, kan? Atau, mungkin kelak ada foto yang menunjukkan presiden kita sedang mengupil. Menangis dan mengupil adalah manusiawi.

Kisah (biografi) yang menceritakan seorang anak kaya yang bersekolah dari dasar sampe S2 luar negeri dengan biaya orangtuanya dan jadi direktur perusahaan keluarga tentu kurang menarik. Tidak ada perjuangan di sana. Tapi menarik jika ia adalah Andrea Hirata. Fakta bahwa Mark Zuckerberg dan Steve Jobs drop-out namun sukses juga adalah hal yang menggelitik. Tapi bagi para mahasiswa drop-out Indonesia jangan terlalu amat yakin jadi kaya, dong. Ada sisi lain dari kisah drop-out mereka yang perlu diperhatikan.

Kalimat pendek di awal catatan ini menunjukkan sisi lain dari seorang selebriti (kurang terkenal) macam Mark. Ternyata seorang pemuda berdarah Yahudi, yang jadi fenomena dan kaya raya dengan media sosialnya, sebenarnya seperti kita. Hal remeh memfoto wisatawan mengingatkan dia bahwa dia adalah orang biasa yang bisa menjadi biasa saja. Kita, terutama saya pribadi, bisa melihat hal yang unik dari seorang Mark Zuckerberg. Andai foto yang dijepretkan Mark diketahui kemudian diunggah di Facebook oleh wisatawan yang memintakan, maka pastilah senyum Mark semakin lebar :)


Samarinda, 21 Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...