Langsung ke konten utama

aLamaKna: Angka

Kini, terkadang kita merindukan masa kecil. Jadi orang-dewasa tidak menyenangkan, kata Antoine de Saint-Exupéry penulis buku Pangeran Kecil. Sebab orang-dewasa selalu dipenuhi dengan angka. "Orang-dewasa menyukai angka-angka", kata sang Pangeran Kecil. Kebahagian didapati dengan mobil mewah atau gadget baru nan mahal. Kesedihan selaras dengan deretan angka di buku rekening. Akhir bulan masa rekening menipis masa mengencangkan ikat pinggang. Kenaikan gaji berarti kenaikan jatah belanja atau jajan.

Tinggi diukur dengan angka, atau lebih tepatnya dijelaskan dengan meteran. Padahal saat kecil kita cukup menyebut, "Orang itu tinggi sekali" sambil menggerakkan tangan, untuk menjelaskan orang itu memang tinggi. Sederhana. "Rumah itu bagus", kata anak kecil. "Bagus berapa harganya, ya?", tanya orang dewasa. Berat badan dan lingkar perut bagi orang dewasa jadi deretan angka untuk diperhatikan. Bagi sebagian orang malah jadi obsesi. Berat badan ideal berapa, sih? Tinggi badan dikurangi 110. Kalau berat badan ideal jadi obsesi, jadi repot, makan harus dihitung kalorinya.

Kita pertama kali mengenal angka dari sekolah, sistem pendidikannya yang beberapa di antaranya berisikan guru dan rapor. Guru yang rajin menilai kepintaran anak didiknya, dan murid yang (terpaksa) rajin belajar demi peringkat. Rapor merupakan prasasti angka yang jadi rujukan senyum orangtua kita. Guru dan orangtua adalah orang dewasa, yang amat peduli dengan angka. Kita mendapati peringkat yang menjejerkan kita sesuai kepintaran akademik. Akademik juga dipenuhi angka-angka, membosankan! Pintar akademik atau cerdas adanya? Pintar dan cerdas berbeda, kan?

Eh, ngomong-ngomong, dewasa dan tua adalah dua hal yang berbeda. Pertanyaannya bukan jadi tua atau tidak, tapi jadi dewasa atau belum? Jadi tua ditakuti, jadi dewasa dipertanyakan. Saldo usia adalah angka-angka yang bertambah, tiap dari kita menghitungnya. Orang dewasa (pada akhirnya) mengharap kembali ke masa kanak-kanak. Jadi tua adalah kepastian, jadi dewasa belum tentu. Harusnya saya menuliskan frasa orang-gede daripada frasa orang-dewasa.

Anak kecil mudah berteman dan mudah bermusuhan. Suatu ketika berantem dengan teman bermain kelereng, besoknya bisa baikan lagi. Pertemanan bagi mereka bukan soal jumlah teman. Anak kecil mudah berteman, mereka tanpa prasangka (buruk) terhadap sesama. Sementara bagi orang-gede punya adagium satu musuh terlalu banyak, seribu teman terlalu sedikit. Terdengar politis kalau diseriuskan. Apalagi yang mengucapkan adalah Pak Presiden yang tentu saja adalah orang-gede.

Meski sang Pangeran Kecil berkata, "... bagi kita yang memahami kehidupan, angka-angka tidak begitu penting”, tapi tetaplah kesimpulannya bahwa semua harus dijelaskan dengan angka agar dimengerti. Pak Ustadz pun menjelaskan perkalian angka saat khotbah Jumat. 1x10 lebih baik daripada 10x1, kata dia. Maksud dia soal amal (ibadah). Tuh, amal pun bisa dirumuskan dengan angka. Terdengar filosofis sebenarnya. 1x10 terkait kontinuitas, 10x1 terkait besaran saja. Padahal keduanya berjumlah sama, ya?


Samarinda, 23-24 September 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...