Langsung ke konten utama

aLamaKna: Henti

Kualitas kemacetan suatu kota bisa dinilai dari lama detik lampu lalu lintas di persimpangan. Jakarta punya, salah satunya, persimpangan Pasar Senen yang diatur lampu lalu lintas (lalin) dengan nyala lampu merah sangat lama. Bukan hitungan detik lagi tapi menit. Biasa macet parah di Pasar Senen di senin pagi, awal kesibukan warga ibukota. Berhenti tertahan lebih dari dua menit 'hanya' karena lampu merah. Efektif dua-tiga menit saja jika kita berada di pole position (garis terdepan) dekat lampu lalin.

Pengguna motor lebih lincah meliuk-liuk di antara sela mobil untuk dapat pole position. Lampu hijau menyala seumpama balap Moto GP dimulai. Yang terdepan adalah para pengguna motor yang semula berderet terhenti lantas langsung memacu motor masing-masing. Sementara mobil terhenti lebih lama daripada waktu lampu merah menyala karena banyaknya kendaraan dan mesti merambat. Lampu lalu lintas punya arti tersendiri terhadap jalan dan pengguna kendaraan. Lampu merah artinya, "Yah, berhenti gak bisa ngebut". Lampu kuning berarti, "Cepetan ngebut sebelum merah". Sedangkan lampu hijau adalah, "Ngebut, ngebut, ngebut."

Jamak kemacetan memanjang sebab lampu merah. Lampu lalin sebenarnya adalah solusi di persimpangan yang semrawut. Dia mengatur arus kendaraan dari tiap jalur. Merah menyala adalah waktu yang dibutuhkan untuk berhenti dan mempersilakan kendaraan dari jalur lain berjalan. Saat berhenti di lampu merah lama dengan kemacetan yang membosankan, "Bisa sambil ngopi-ngopi, nih," kata temen sambil bercanda. Tapi, Ibukota sangatlah panas. Ngopi di siang bolong bahkan di terik jalanan adalah tindakan konyol.

Perjalanan di tengah ketergesaan semua orang seolah menjadikan lampu lalin musuh bersama. Waktu sekian detik terhenti menghambat sampai tujuan. Jam absensi kantor tidak bersahabat. Lebih baik cari jalan memutar daripada terjebak macet (salah satunya karena lampu merah). Kita jadi hapal jalan kecil atau gang untuk menghindari macet. Kemampuan berkendara bisa terasah. Tindakan ekstrem adalah menerabas lampu merah atau melipir sebentar melawan arus kendaraan. Berhenti membuang waktu saja.

Seorang teman menuliskan status di media sosial bahwa, "Di Indonesia, saat kau menghentikan kendaraanmu di belakang garis batas saat lampu merah menyala maka suara klakson dari belakang akan terdengar." Rasio polisi lalu lintas dengan kendaraan bermotor tak sebanding. Apalagi rasio kendaraan bermotor dengan ruas jalan. Macet adalah kepastian. Pelanggaran lalin pun menjadi keniscayaan.

Sebenarnya berhenti sejenak itu perlu. Kalaulah saat merah menyala tak sempat atau memang tak mau ngopi-ngopi, bisa kita gunakan untuk meluruskan punggung, tangan dan kaki. Bisa juga untuk memulai obrolan singkat dengan pengguna kendaraan di sebelah atau teman di boncengan. Bagi yang tersesat atau mencari jalan bisa bertanya ke pengguna kendaraan di sebelah sembari menunggu lampu hijau menyala. Bisa juga untuk membalas sms di ponsel (sebab menggunakan ponsel sambil berkendara berbahaya).

Kemacetan adalah etalase deretan kendaraan. Kita bisa melihat-lihat kendaraan mewah/unik di sekitar kita, terkadang dengan nomor plat yang unik juga. Berhenti di lampu merah meluangkan waktu untuk merenung, atau lebih tepatnya melamun. "Duh, harga bensin akan naik", "Cicilan kredit bentar lagi selesai", "Kapan ya bisa punya mobil?", atau "Sampai kantor ngerjain tugas kemarin duluan". Dan, satu atau dua menit cukup untuk memikirkan tema tulisan singkat seperti ini.


Bekasi, 3 Oktober 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...