Langsung ke konten utama

aLamaKna: Klise

Tiap ada kenaikan BBM pasti ada yang mengguyonkan "BBM naik tidak masalah, masih ada Whatsapp dan Line" dan guyonan sejenisnya. Orang Perancis menyebut hal tersebut sebagai cliché. Lidah kita menyebutnya klise, gagasan yang terlalu sering dipakai. Pada akhirnya hal tersebut menjadi hal yang sangat sangat biasa. Biasa karena berulang-ulang diceritakan, dituliskan di facebook, di-retweet di twitter dan di-sharing di medsos lain. Gampangnya, sudah kehilangan daya lucu dari yang semula lucu.

Tiap ada kenaikan BBM pasti ada pro dan kontra. Masing-masing kubu memunculkan argumen dan pembelaan, yang disayangkan jika tanpa data dan dilatarbelakangi sentimen suka-tidak-suka kepada sang pengambil keputusan. Dalam ranah politik, yang pro dan yang kontra mudah beralih, tergantung arah angin kekuasaan. Sedangkan masyarakat secara umum memprotes keputusan penaikkan bahkan beberapa berdemonstrasi. Namun, fenomena yang terjadi pada selanjutnya jadi hal yang klise.

Berapapun harga bensin, kota-kota besar tetap diisi kemacetan jalan. Jumlah kendaraan bermotor tetap bertambah. Antrian bensin tetap panjang. Masyarakat secara perlahan bisa menyesuaikan harga terbaru. Yakinlah, masyarakat punya daya lenting merespon perubahan. Bukankah perubahan adalah satu-satunya hal yang pasti terjadi? Dan, inflasi tetap jadi bahan perbincangan Menteri Keuangan dan Gubernur Bank Indonesia. Dan, siapapun pemimpin negeri ini pastilah akan (diharuskan oleh situasi) menaikkan harga BBM. Seorang teman menuliskan status fb mengenai "mendefinisi-ulang makna rejeki" terkait kenaikan BBM.

Alkisah, ada seorang guru yang mengajar murid-muridnya. Agar suasana belajar tidak terlalu serius, diceritakanlah kisah lucu oleh sang guru. Semua murid tertawa lepas. Lantas belajar kembali dilanjutkan. Beberapa saat kemudian, diceritakan kembali kisah lucu yang sama oleh sang guru. Sebagian murid tertawa pelan, sebagian lain diam. Belajar kembali diteruskan. Lalu diceritakan untuk ketiga kali kisah lucu yang sama. Semua murid diam. Klise, sudah tidak lucu lagi.

Sang guru tersenyum dan berkata, "Kalian tidak bisa tertawa terus-menerus pada kisah lucu yang saya ceritakan lebih dari sekali. Tapi kenapa kalian seringkali terus-menerus sedih pada kejadian atau hal sedih yang sama yang menimpa kalian?" Para murid mengerti dan tersenyum. Mungkin sebagian dari mereka dalam hatinya berkata, "Move on lebih baik." Move on tidak cuma bagi mereka yang patah hati, yang patah arang pun harus dan bisa move on. Jangan jadi penggerutu, jangan jadi pemurung. Life must goes on!


Samarinda, 20 November 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...