Langsung ke konten utama

aLamaKna: Kita

Kita punya 'kita' dan 'kami'. 'Kami' punya makna berbeda dari 'kita'. Kini 'kami' sudah sering dipertukarkan dengan 'kita'. Banyak orang menyebut 'kita' padahal secara konteks jelas yang dimaksud adalah 'kami'. Sebenarnya 'kita' menyertakan yang diajak/dituju berbicara sedangkan 'kami' punya wilayah sendiri (eksklusif) pada kelompok si pembicaranya saja. Entah sejak kapan dua kata tersebut bersengkarut makna.
 
Mengenai penggunaan tepat 'kami', contoh sederhana adalah pada sumpah pemuda yang tegas menunjukkan kekuatan atau keberadaan kelompok 'kami' para pemuda Indonesia kepada bangsa Belanda. Hal ini sebenarnya sudah dibahas sekian banyak artikel ringan para pemerhati bahasa bahwa penyampaian kata 'kami', yang sudah mulai jarang diucapkan oleh kita, bisa menyebabkan salah pengertian bagi para pendengarnya. Karena sudah jamak, kita memang bisa (saja) memahami konteks saat seseorang berkata 'kita' untuk menjelaskan keadaan atau hubungan dia dan teman/kelompok dia.
 
Saat artis ditanya seorang wartawan sejak kapan mulai pacaran, dia menjawab "Kita sudah pacaran sekitar 1 bulan lalu," padahal wartawan gak merasa sudah berpacaran dengan sang artis. Karena memahami konteks dan berusaha tidak ge-er, si wartawan tahu bahwa sang artis berpacaran dengan teman dekatnya. Kalaulah sang artis tersebut adalah Raisa, barangkali si wartawan akan senang-senang saja membayangkan bisa berpacaran dengan Raisa.
 
Saat konferensi pers Pak Kapolri berujar, "Kita berhasil menangkap penyelundup narkoba 1 ton lewat operasi Gajah Mada," padahal penyimak konferensi tidak merasa turut menangkap. Sebab memafhumi konteks, penyimak konferensi mengerti bahwa Pak Kapolri tidak sedang mengajak penyimak untuk angkat senjata menangkap penyelundup. Eloknya Pak Kapolri diingatkan bahwa jajarannya harus ditegaskan dengan kata 'kami'. Penyimak yang tahu benar arti ‘kita’ tak berani berkata, “Kita? lu aja kali,” ke Pak Kapolri. Takut dijitak.
 
Dari rakyat biasa sampai pejabat tinggi bahkan presiden, dua kata kakak-adik 'kita' dan ‘kami’ mengalami pergeseran makna. Kata ‘kita’ terlalu superior hingga kata ‘kami’ tersingkirkan. Khazanah kata memang dipengaruhi tuturan masyarakat. Sebenarnya bukan tentang fenomena tersebut di masyarakat sebagai benar atau salah, hanya saja jika dibanding Bahasa Inggris yang hanya punya 'we' untuk pengertian 'kita'/'kami', Bahasa Indonesia lebih unggul sebab punya penegasan/pembedaan yang jelas.
 
Yang menarik adalah kata 'kita' dalam Bahasa Melayu, sebagai akar Bahasa Indonesia, yang dituturkan oleh Upin dan Ipin ternyata juga punya konteks 'kami'. Di satu episode ditayangkan bahwa Upin berkata 'kita' ke Kak Ros untuk menjelaskan dia dan Ipin saja. Episode lain memuat pernyataan 'kita' dari Ipin ke Opah menjelaskan keberadaan dia dan geng cilik mereka. Di Negeri Jiran sana kata ‘kita’ dituturkan dengan ‘kita orang’.
 
Yang lebih menarik adalah kata 'kita' dalam Bahasa Melayu pada situs Kamus Dewan Malaysia (Pusat Rujukan Persuratan Malaysia, prpm.dbp.gov.my) turut dipadankan dengan 'kami'. Sedangkan KBBI daring (kbbi.web.id) kata 'kita' dan 'kami' masih setia, tegas serta jelas dibedakan maknanya sesuai penjelasan di paragraf awal tulisan ini. Jika bisa diumpamakan, kita adalah Upin dan kami adalah Ipin, meski kembar tetap saja ada perbedaan antara keduanya yang secara fisik kentaranya cuma seujung rambut Upin.
 
Janganlah kita tega mencukur secuil rambut Upin dan memadankannya dengan Ipin, sebab pastilah mereka tidak mau disama-samakan dan punya karakter/ciri masing-masing yang khas. Kalaulah fenomena terus berlanjut, 'kami' hanya sedikit diucapkan atau ditulis dan 'kita' dipaksa sama-padan dengannya, rasanya hal tersebut eman-eman (sayang sekali). Kita hanya akan mengira-ngira perbedaan Upin, yang seujung rambutnya tandas dicukur, dibanding Ipin dari botak mana yang lebih mengkilat atau licin.
 
 
Bekasi, 25 Juli 2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

aLamaKna: Penonton

Paling enak jadi penonton pertandingan sepakbola, kita bisa teriak, mengumpat dan menyalahkan pemain atau pelatih. Teriak menyemangati tim favorit, merayakan gol dan drama lain bagian pertandingan. Menyalahkan strategi pelatih yang tak sesuai, mengumpat kebodohan pemain ceroboh atau menggerutui wasit dengan kartu kuning atau merah dan pluitnya. Kalau penonton disuruh main, eh, dengan hak khusus di awal menurut saya yang juga cuma bisa menonton, masih mending jadi penonton. Jelas ada beda antara menonton di stadion dan lewat layar televisi. Di stadion lebih ramai, berdesakan di dalam dan luar stadion. Penonton di stadion adalah pemain ke-12 bagi tim kesebelasan, dengan menjadikannya satu subjek. Di Indonesia penonton punya hak-khusus, kalau protes silakan masuk lapangan pukul pemain, rusak pagar, bakar tempat duduk atau rusuh dengan penonton lawan. Terlepas dari salah atau tidak salah, itu tetap jadi bagian (budaya) sepakbola, olahraga paling terkenal di dunia. Menambah seru. Seme...

aLamaKna: Cita

Anak kecil jika ditanya apa cita-cita saat besar nanti biasanya menjawab menjadi dokter, pilot, polisi dan profesi lain pada umumnya yang di mata mereka tampak baik, gagah dan berseragam. Tentu sudah sewajarnya dan bisa orang dewasa maklumi. Malah sering kali orang tua atau guru mengamini cita-cita tersebut. “Cita-citamu bagus, Nak, makanya belajar yang rajin yah”, salah satu contoh tanggapan serius orang tua untuk memotivasi anaknya jika mendengar jawaban cita-cita sang anak. Pujian itu menjadi motivasi anak untuk rajin belajar. Cita-cita memang semacam motivasi. Tujuan yang mengarahkan seorang anak kecil untuk belajar di sekolah, sementara bagi orang dewasa cita-cita lebih serupa harapan yang sebenarnya kompleks. Jawaban anak kecil atas pertanyaan cita-cita memang apa adanya dan terkesan lugu karena mereka hanya melihat cita-cita sebagai sesuatu yang menyenangkan dan tercetus singkat. Cita-cita bagi mereka adalah profesi atau pekerjaan yang merupakan jenis objek atau sesuatu hal...

aLamaKna: Petir

Bulan Desember, langit semakin rajin menumpahkan air menandai musim hujan meraja. Musim hujan identik dengan banjir. Tapi kita tahu, hujan yang turun dari awan hitam tidak jarang disertai petir. Lihat kilatannya, dengar gemuruhnya, tapi jangan sampai rasakan terjangannya. Awan hitam yang mengandung elektron lah yang memunculkan kilatan cahaya (lightning) yang sebenarnya adalah loncatan arus listrik. Petir tampak seperti membelah langit, suaranya menggelegar hebat. Kita ingat, saat kecil suara ledakan petir menakutkan dan kita menutup mata dan telinga bahkan meringkuk di balik selimut.   Terima kasih pada Benjamin Franklin, tanpa 'keisengan' dia menerbangkan layangan saat hujan kita tak akan mengenal penangkal petir. Ilmuwan punya rasa penasaran tinggi, bahkan petir yang menakutkan bagi kebanyakan orang tidak cukup menggentarkan. Atau, barangkali keberanian Franklin menghadapi petir karena ia juga seorang presiden AS? Apapun alasannya, Franklin rela menempuh risiko terkena...